Tuesday 16 August 2011

Merdeka!?


“Dan kamu akan melihat kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu”
Yohanes 8:32

Kemerdekaan adalah kemampuan untuk menentukan nasib sendiri. Artinya, kita mempunyai kedaulatan (kekuasaan tertinggi atas diri) untuk menentukan pilihan untuk diri kita sendiri, dan karena setiap pilihan mengandung konsekuensi, maka kedaulatan untuk memilih harus diimbangi dengan kemampuan untuk menjalani konsekuensinya. Kemampuan untuk menyadari dan menjalani konsekuensi dari sebuah aksi mempunyai kaitan yang erat dengan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki seseorang. Dengan kemampuan untuk menyadari dan menjalani suatu konsekuensi yang lebih baik, penipuan dan pembodohan tidak mungkin terjadi karena kita mampu untuk mengambil keputusan sadar untuk diri kita sendiri. Oleh karena itu, ilmu dan pengetahuan adalah sebuah alat pembebasan karena kemampuannya untuk meningkatkan kesadaran kita.
Pendidikan, sebagai sebuah proses penyadaran manusia akan kemanusiaannya, pada dasarnya adalah sebuah laku pembebasan manusia dari belenggu  keterbatasan yang dimilikinya. Dalam proses pendidikan, manusia disadarkan akan kemampuannya untuk menyadari dan memecahkan masalah yang dialaminya melalui transfer ilmu yang diberikan dalam proses pendidikan. Pendidikan, menurut Freire, seharusnya mampu membuat pesertanya untuk menyingkap tabir realitas dan membentuk sebuah praksis perubahan atas permasalahan yang sedang dialaminya. Hal ini terjadi dalam sejarah Republik Indonesia saat bangsa ini sedang mencari identitas kebangsaannya. Indonesia sebagai sebuah bangsa mulai terbentuk di awal abad 20 dan terus berkembang hingga mencapai Proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945.
Kesadaran akan sebuah identitas kebangsaan lahir dari pendidikan yang diberikan oleh Belanda kepada segelintir orang pada saat itu. Segelintir orang ini mulai melihat adanya perbedaan antara liberalisme yang berkembang di Eropa dan penjajahan yang dilakukan oleh Belanda di Indonesia. Kesadaran akan hal ini memicu kesadaran untuk berhimpun dan terlibat secara politik dalam pelaksanaan pemerintahan Hindia Belanda dan pada akhirnya menuntut kemerdekaan. Dalam proses ini bisa dilihat bahwa pada saat itu permasalahan bangsa ini – penjajahan dan perpecahan – baru terlihat sejak masyarakat mulai menyadari akan permasalahan itu sendiri sehingga solusi dari permasalahan ini bisa dibentuk melalui perjuangan kemerdekaan yang dilakukan berdasarkan persatuan kebangsaan hingga menghasilkan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. Tanpa persatuan kebangsaan ini, mustahil Indonesia merdeka sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita kenal sekarang. Pendidikan yang dilakukan pada saat itu mampu membuat pesertanya untuk menyingkap tabir realitas dan membentuk sebuah praksis perubahan atas permasalahan yang sedang dialaminya.
Setelah Indonesia merdeka, Soekarno pernah berkata bahwa revolusi bangsa ini belum selesai, perjuangan akan terus berjalan, karena memerdekakan Indonesia hanyalah sebagian dari perjuangan. Revolusi sebagai manifestasi dari dialektika kondisi memang tidak akan pernah selesai karena revolusi selalu menuntut pembaharuan ke arah yang lebih baik dari kondisi zaman yang dinamis. Artinya, setiap masalah tercipta oleh kondisi di zamannya dan menuntut penyelesaian yang unik pada zamannya. Semua masalah yang ada saat ini menuntut solusi agar terselesaikan dan sebelum kita dapat membentuk sebuah praksis perubahan, kita harus tahu masalah yang kita hadapi saat ini. Oleh karena itu, pendidikan yang kita jalani sekarang seharusnya mampu untuk menberikan kita kemampuan untuk menyadari dan menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh bangsa ini sekarang. Penyelesaian masalah bangsa adalah sebuah bentuk pertanggungjawaban kita atas kemerdekaan yang kita miliki sekarang.

Sunday 7 August 2011

Mengenai Pelestarian Budaya Indonesia

Budaya adalah sebuah proses pemaknaan dunia yang dilakukan oleh manusia. Artinya, kegiatan berbudaya adalah sebuah kegiatan manusia dalam menciptakan makna yang merujuk pada realitas yang lain daripada pengalaman sehari-hari. Manusia melakukan ini melalui proses kognitif untuk memproduksi dan mengkonsumsi simbol. Sehingga, dapat dikatakan bahwa, dasar dari budaya adalah proses produksi dan konsumsi simbol oleh masyarakat tersebut. Bentuk-bentuk simbolik itu, menurut Ernst Cassirer dalam An Essay of Man, adalah agama, filsafat, seni, ilmu, sejarah, mitos, dan bahasa.
Menurut Koentjaraningrat, budaya di dalam masyarakat dapat dibagi menjadi tiga aspek yaitu mentifak, sosiofak, dan artefak. Mentifak berkaitan dengan pemikiran dan falsafah dasar kebudayaan, sosiofak berkaitan dengan perilaku sosial dan penerapan nyata mentifak dalam kehidupan, dan artefak merupakan hasil nyata dari sebuah kebudayaan yang dapat berupa barang, tarian, teks, atau lagu. Ketiga aspek dari budaya berkaitan antara satu lainnya dan membentuk sebuah kesatuan budaya karena penggunaan dan pembuatan artefak membutuhkan sebuah sosiofak tertentu dengan landasan mentifak masyarakat tersebut. Maka, dapat disimpulkan bahwa pelestarian budaya hanya dapat dilakukan dengan melestarikan proses produksi dan konsumsi simbol di dalam masyarakat melalui pelestarian aspek-aspek pembentuk budaya di dalam masyarakat.