Mirza Adrian NP
Pembaca dan Penulis Amatir
Ketika kita
membaca sejarah, kita dapat melihat kembali banyak peristiwa yang telah terjadi
namun tidak akan lengkap, tidak akan penuh dan menyeluruh. Selalu ada bagian
dalam sejarah yang tidak akan terbaca. Dari pembacaan tentang pergolakan
revolusi Indonesia, contohnya, kita bisa menelusuri perkembangan perjuangan –
kalah menang peperangan, perundingan, atau pidato-pidato tokoh. Tetapi pengalaman
seorang spesifik individu – penderitaan, euphoria, atau ketakutan individu –
tidak akan pernah tertulis di dalam buku sejarah. Hal ini disebabkan karena
sejarah, pada dasarnya, adalah kumpulan dari beragam biografi yang telah
melalui sebuah proses depersonalisasi. Sejarah adalah rangkaian peristiwa yang
berpengaruh dalam perkembangan dunia dan manusia secara menyeluruh, bukan
proses yang dilalui oleh individu di dalam prosesnya untuk ‘menjadi’. Cerita
individu inilah yang tidak pernah tercantum di dalam sejarah – cerita mereka
telah hilang ditelan oleh sejarah.
Selain proses kehilangan, sejarah juga
mengalami proses penghilangan karena sejarah selalu menjadi hasil dari sebuah
proyek penegakan status quo para pemenang untuk menegakkan rezim. Dalam
penulisan sejarah yang demikian, kelompok pemenang akan menyingkirkan, atau
bahkan menghilangkan sama sekali, kelompok yang kalah dari sejarah agar
generasi di masa mendatang bisa mengetahui tentang “kebenaran” yang terjadi. Dalam
proses ini, kejadian direkayasa agar terus mengikuti sudut pandang yang “benar”
dan membunuh (secara nyata dan maya) sudut pandang yang “salah”. Pembacaan
sejarah, pada akhirnya akan dilakukan melalui dokumen-dokumen yang “ada”.
Pembacaan seperti ini mempunyai kemungkinan untuk terjerumus pada sudut pandang
pemenang dan menenggelamkan cerita mereka yang kalah dari pengetahuan generasi
mendatang. Cerita yang tampak di permukaan hanyalah cerita mereka yang menang.
Proses-proses
“penyejarahan” kejadian telah memberikan jarak antara sejarah dan manusia yang
tidak bisa dihilangkan melalui kajian sejarah. Tetapi untungnya, kita mempunyai
alat lain dalam pembacaan sejarah: sastra. Sastra mempunyai keuntungan karena
dia bersifat sangat dekat dan individual. Sebuah cerita, di dalam sastra, pasti
merupakan cerita tentang seorang tokoh dan pergelutannya dengan dunia. Oleh
karena itu, sastra mempunyai kemampuan untuk memanusiakan kembali sejarah,
mengembalikan kejadian sebagai pengalaman dari sudut pandang yang subjektif dan
personal. Selain itu, kebebasan sastra juga memungkinkan pengungkitan sudut
pandang yang tadinya tenggelam (atau ditenggelamkan) oleh sejarah sehingga
banyak cerita bisa terselamatkan.
Hal inilah yang dilakukan oleh Papermoon Puppet
Theatre dalam lakonnya Mwathirika. Dalam lakon ini, Papermoon Theatre telah
berhasil menyajikan dengan sangat baik sebuah cerita dari sudut pandang yang
tak pernah terlihat dari sebuah fase sejarah yang tak pernah dibahas. Lakon
minikata berdurasi 55 menit ini bercerita tentang perjalanan sepasang kakak
beradik, Moyo dan Tupu, yang dibesarkan oleh ayahnya, Baba, seorang tua
bertangan satu. Mereka tinggal bersebelahan dengan Haki dan anak perempuannya, Lacuna,
yang selalu duduk di kursi roda.
Meskipun mereka bersebelahan, mereka berseberangan dalam warna: Baba berwarna
merah dan Haki berwarna hijau. Kehidupan mereka damai dan harmonis, namun,
seperti diucapkan Leon Trotsky, mereka yang ingin kehidupan yang damai telah
membuat kesalahan dengan hidup di abad ke 20 – sebuah konflik politik menghasilkan
keputusan untuk menghilangkan semua orang yang berwarna merah. Dalam konflik
ini, segala yang merah adalah salah, termasuk peluit dan balon anak kecil
sekalipun.
Keunikan
dari lakon ini adalah aktornya berupa boneka yang digerakkan oleh sang dalang.
Meskipun dalang tidak menyembunyikan diri mereka, perhatian kita tetap menuju
ke boneka. Di atas panggung, dalang seakan menjadi sekedar bayangan dari
boneka-boneka yang mereka mainkan. Kehebatan dari para dalang adalah kemampuan
mereka untuk memberikan hidup kepada boneka yang mereka pegang. Di atas
panggung, boneka-boneka yang dimainkan tidak hanya bergerak tapi juga mampu
menyampaikan emosi dan perasaan melalui gerak tubuh – sebuah hal yang sulit
untuk dicapai oleh teater mini kata yang dimainkan aktor manusia, terlebih lagi
boneka. Sangat sulit untuk menggambarkan pengalaman menonton lakon in. Tapi,
pengalaman itu bisa disimpulkan sebagai sebuah keberhasilan Papermoon Puppet
Theatre untuk menghadirkan seni panggung dengan sangat baik.
Selain itu,
dalam lakon Mwathirika, Papermoon Theatre juga telah berhasil memanusiakan
kembali sejarah. Seperti dalang yang memberikan hidup kepada boneka yang mereka
mainkan, mereka telah menghidupkan kembali sejarah. Memberikannya emosi dan
perasaan yang tidak ada di buku sejarah. Emosi ini berhasil dihadirkan dari
pengambilan sudut pandang cerita yang unik. Lakon ini mengambil sudut pandang
Tupu, sudut pandang anak kecil yang polos dan murni, yang harus menjalani
peristiwa yang berada di luar pemahamannya. Berawal dari kebahagian dan
keamanan yang dialami oleh Tupu di awal cerita, lakon ini berkembang menjadi
sebuah konflik akibat penahanan Ayah Tupu, Haki, oleh tentara akibat gambar
segitiga merah di jendelanya. Setelah itu, Tupu dan Moyo harus menjalani
kehidupan yang pelik berdua. Bahkan tetangga mereka pun tak mau membantu, entah
karena ketakutan atau kefanatikan. Keadaan ini diperburuk dengan ditangkapnya
Moyo karena peluit merah yang terkalung di lehernya. Dalam kebingungannya, Tupu
mencoba memanggil kakaknya dengan meniup peluit yang ia miliki. Panggilannya,
tentunya, tidak mendapat tanggapan. Tapi ,Tupu terus meniup peluitnya hingga
akhir cerita.
Menurut
penulis, bunyi peluit itu adalah bunyi yang sangat syahdu. Bunyi sayup peluit Tupu
di dalam kepala saya menjelma bunyi sayup teriak mereka yang hilang dalam
sejarah. Mereka yang telah dizalimi dan menuntut untuk diperhatikan. Mereka
yang dibungkam dan mencoba berteriak dari balik bekaman tangan sejarah yang tidak
memihak. Bunyi ini adalah suara lirih manusia yang sedang tersesat dalam
pencarian akan kemanusiaan. Dan dengan resiko diperolok, penulis disini
mengakui bahwa lakon ini telah berhasil membuat saya menangis – sesuatu yang
sangat jarang terjadi. Karena ketika saya dihadapkan dengan manusia dan
kemanusiaannya yang paling murni, tidak ada kata yang bisa saya keluarkan. Tidak
ada logika berargumen atau kata-kata indah yang bisa menjawab pertemuan manusia
dan kemanusiaannya. Menurut saya, tidak ada yang lebih bisa menggambarkan
keindahan pertemuan manusia dan kemanusiaannya selain air mata.
No comments:
Post a Comment