Sunday, 24 June 2012

Resensi Mwathirika

Sebuah Lakon Tentang Cerita Kehilangan dan Cerita yang Hilang
Mirza Adrian NP
Pembaca dan Penulis Amatir
Ketika kita membaca sejarah, kita dapat melihat kembali banyak peristiwa yang telah terjadi namun tidak akan lengkap, tidak akan penuh dan menyeluruh. Selalu ada bagian dalam sejarah yang tidak akan terbaca. Dari pembacaan tentang pergolakan revolusi Indonesia, contohnya, kita bisa menelusuri perkembangan perjuangan – kalah menang peperangan, perundingan, atau pidato-pidato tokoh. Tetapi pengalaman seorang spesifik individu – penderitaan, euphoria, atau ketakutan individu – tidak akan pernah tertulis di dalam buku sejarah. Hal ini disebabkan karena sejarah, pada dasarnya, adalah kumpulan dari beragam biografi yang telah melalui sebuah proses depersonalisasi. Sejarah adalah rangkaian peristiwa yang berpengaruh dalam perkembangan dunia dan manusia secara menyeluruh, bukan proses yang dilalui oleh individu di dalam prosesnya untuk ‘menjadi’. Cerita individu inilah yang tidak pernah tercantum di dalam sejarah – cerita mereka telah hilang ditelan oleh sejarah.


Selain proses kehilangan, sejarah juga mengalami proses penghilangan karena sejarah selalu menjadi hasil dari sebuah proyek penegakan status quo para pemenang untuk menegakkan rezim. Dalam penulisan sejarah yang demikian, kelompok pemenang akan menyingkirkan, atau bahkan menghilangkan sama sekali, kelompok yang kalah dari sejarah agar generasi di masa mendatang bisa mengetahui tentang “kebenaran” yang terjadi. Dalam proses ini, kejadian direkayasa agar terus mengikuti sudut pandang yang “benar” dan membunuh (secara nyata dan maya) sudut pandang yang “salah”. Pembacaan sejarah, pada akhirnya akan dilakukan melalui dokumen-dokumen yang “ada”. Pembacaan seperti ini mempunyai kemungkinan untuk terjerumus pada sudut pandang pemenang dan menenggelamkan cerita mereka yang kalah dari pengetahuan generasi mendatang. Cerita yang tampak di permukaan hanyalah cerita mereka yang menang.

Proses-proses “penyejarahan” kejadian telah memberikan jarak antara sejarah dan manusia yang tidak bisa dihilangkan melalui kajian sejarah. Tetapi untungnya, kita mempunyai alat lain dalam pembacaan sejarah: sastra. Sastra mempunyai keuntungan karena dia bersifat sangat dekat dan individual. Sebuah cerita, di dalam sastra, pasti merupakan cerita tentang seorang tokoh dan pergelutannya dengan dunia. Oleh karena itu, sastra mempunyai kemampuan untuk memanusiakan kembali sejarah, mengembalikan kejadian sebagai pengalaman dari sudut pandang yang subjektif dan personal. Selain itu, kebebasan sastra juga memungkinkan pengungkitan sudut pandang yang tadinya tenggelam (atau ditenggelamkan) oleh sejarah sehingga banyak cerita bisa terselamatkan.

Hal inilah yang dilakukan oleh Papermoon Puppet Theatre dalam lakonnya Mwathirika. Dalam lakon ini, Papermoon Theatre telah berhasil menyajikan dengan sangat baik sebuah cerita dari sudut pandang yang tak pernah terlihat dari sebuah fase sejarah yang tak pernah dibahas. Lakon minikata berdurasi 55 menit ini bercerita tentang perjalanan sepasang kakak beradik, Moyo dan Tupu, yang dibesarkan oleh ayahnya, Baba, seorang tua bertangan satu. Mereka tinggal bersebelahan dengan Haki dan anak perempuannya, Lacuna,  yang selalu duduk di kursi roda. Meskipun mereka bersebelahan, mereka berseberangan dalam warna: Baba berwarna merah dan Haki berwarna hijau. Kehidupan mereka damai dan harmonis, namun, seperti diucapkan Leon Trotsky, mereka yang ingin kehidupan yang damai telah membuat kesalahan dengan hidup di abad ke 20 – sebuah konflik politik menghasilkan keputusan untuk menghilangkan semua orang yang berwarna merah. Dalam konflik ini, segala yang merah adalah salah, termasuk peluit dan balon anak kecil sekalipun.

Keunikan dari lakon ini adalah aktornya berupa boneka yang digerakkan oleh sang dalang. Meskipun dalang tidak menyembunyikan diri mereka, perhatian kita tetap menuju ke boneka. Di atas panggung, dalang seakan menjadi sekedar bayangan dari boneka-boneka yang mereka mainkan. Kehebatan dari para dalang adalah kemampuan mereka untuk memberikan hidup kepada boneka yang mereka pegang. Di atas panggung, boneka-boneka yang dimainkan tidak hanya bergerak tapi juga mampu menyampaikan emosi dan perasaan melalui gerak tubuh – sebuah hal yang sulit untuk dicapai oleh teater mini kata yang dimainkan aktor manusia, terlebih lagi boneka. Sangat sulit untuk menggambarkan pengalaman menonton lakon in. Tapi, pengalaman itu bisa disimpulkan sebagai sebuah keberhasilan Papermoon Puppet Theatre untuk menghadirkan seni panggung dengan sangat baik.

Selain itu, dalam lakon Mwathirika, Papermoon Theatre juga telah berhasil memanusiakan kembali sejarah. Seperti dalang yang memberikan hidup kepada boneka yang mereka mainkan, mereka telah menghidupkan kembali sejarah. Memberikannya emosi dan perasaan yang tidak ada di buku sejarah. Emosi ini berhasil dihadirkan dari pengambilan sudut pandang cerita yang unik. Lakon ini mengambil sudut pandang Tupu, sudut pandang anak kecil yang polos dan murni, yang harus menjalani peristiwa yang berada di luar pemahamannya. Berawal dari kebahagian dan keamanan yang dialami oleh Tupu di awal cerita, lakon ini berkembang menjadi sebuah konflik akibat penahanan Ayah Tupu, Haki, oleh tentara akibat gambar segitiga merah di jendelanya. Setelah itu, Tupu dan Moyo harus menjalani kehidupan yang pelik berdua. Bahkan tetangga mereka pun tak mau membantu, entah karena ketakutan atau kefanatikan. Keadaan ini diperburuk dengan ditangkapnya Moyo karena peluit merah yang terkalung di lehernya. Dalam kebingungannya, Tupu mencoba memanggil kakaknya dengan meniup peluit yang ia miliki. Panggilannya, tentunya, tidak mendapat tanggapan. Tapi ,Tupu terus meniup peluitnya hingga akhir cerita.

Menurut penulis, bunyi peluit itu adalah bunyi yang sangat syahdu. Bunyi sayup peluit Tupu di dalam kepala saya menjelma bunyi sayup teriak mereka yang hilang dalam sejarah. Mereka yang telah dizalimi dan menuntut untuk diperhatikan. Mereka yang dibungkam dan mencoba berteriak dari balik bekaman tangan sejarah yang tidak memihak. Bunyi ini adalah suara lirih manusia yang sedang tersesat dalam pencarian akan kemanusiaan. Dan dengan resiko diperolok, penulis disini mengakui bahwa lakon ini telah berhasil membuat saya menangis – sesuatu yang sangat jarang terjadi. Karena ketika saya dihadapkan dengan manusia dan kemanusiaannya yang paling murni, tidak ada kata yang bisa saya keluarkan. Tidak ada logika berargumen atau kata-kata indah yang bisa menjawab pertemuan manusia dan kemanusiaannya. Menurut saya, tidak ada yang lebih bisa menggambarkan keindahan pertemuan manusia dan kemanusiaannya selain air mata.

No comments:

Post a Comment