Oleh: Mirza Adrian
Pendahuluan
Tidak dapat diragukan lagi, andil UMKM dalam perekenomian nasional sangatlah besar. Di tahun 2009, berdasarkan data Kementrian KUKM, UMKM merupakan 99,99% pelaku ekonomi nasional yang menyerap 97,30% tenaga kerja di Indonesia, dan menyumbang PDB atas dasar harga berlaku sebesar 56,53%[1]. Selain itu, UMKM juga mempunyai ketahanan terhadap resesi ekonomi global karena UMKM tidak terekspos dengan perekonomian global; memproduksi barang kebutuhan sehari-hari daripada barang mewah; bersifat lokal dalam produksi dan pemasaran; dan UMKM, pada umumnya, lebih adaptif dan tidak dibebani oleh biaya administrasi yang mahal (Hill 2001, Manikmas 2003). UMKM juga memiliki beberapa keunggulan dibandingkan usaha besar yaitu inovasi yang mudah terjadi dalam pengembangan produk, kemampuan menyerap tenaga kerja cukup banyak, fleksibilitas dan adaptasi terhadap perubahan pasar yang cepat lebih baik dibandingkan usaha besar. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pengembangan UMKM meningkatkan ketahanan ekonomi Indonesia di era globalisasi sekarang ini.
Namun, pengembangan UMKM di Indonesia belum terjadi secara maksimal karena berbagai kendala. Dari berbagai studi[2], dapat disimpulkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi perkembangan UMKM adalah permodalan, pemasaran, kebijakan pemerintah, dan sistem produksi yang dijalankan. Empat faktor tersebut saling berkaitan dalam pengaruhnya ke perkembangan UMKM di Indonesia. Permodalan berhubungan erat dengan institusi perbankan di Indonesia yang memberikan pinjaman kepada pelaku UMKM. Pemasaran berhubungan dengan permintaan produk UMKM dan persaingannya dengan produk-produk luar negeri dan usaha besar. Pasar bebas dengan berbagai negara yang baru disepakati pemerintah Indonesia mempunyai dampak yang besar terhadap produk UMKM. Sistem produksi berkaitan dengan teknologi, tenaga kerja, dan rantai suplai bahan baku dan produk UMKM. Kebijakan pemerintah berkaitan erat dengan produk hukum yang mengatur sistem ekonomi di Indonesia. Masing-masing faktor di atas memberikan kesempatan dan ancaman tersendiri terhadap perkembangan UMKM di Indonesia. Tulisan ini akan membahas, dari faktor-faktor di atas, faktor apa yang paling berpengaruh terhadap perkembangan UMKM dan langkah apa yang bisa dilakukan untuk mengembangkan UMKM di Indonesia.
Profil UMKM Di Indonesia
Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2008 Tentang UMKM, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah didefinisikan sebagai perusahaan milik perseorangan WNI dengan kekayaan bersih maksimum sepuluh milyar rupiah dan penjualan tahunan maksimum lima puluh milyar rupiah[3]. Dengan definisi tersebut, UMKM merupakan 99.9% dari total seluruh pelaku ekonomi di Indonesia. Pelaku terbanyak adalah pengusaha mikro dengan jumlah 52.176.795 unit atau 98,88% dari total pengusaha di Indonesia di tahun 2009. UMKM juga menyerap tenaga kerja terbanyak, yaitu 96.211.332 orang atau 97,3% dari total tenaga kerja di Indonesia dengan penyerapan tenaga kerja terbanyak oleh unit usaha mikro yang berjumlah 90.012.694 orang atau 91,03% dari total tenaga kerja di Indonesia. Pertumbuhan UMKM di Indonesia sejak tahun 2005 hingga 2009 mempunyai kecenderungan linear dengan pertumbuhan rata-rata 12.2%. Data yang lebih lengkap dapat dilihat di Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1: Jumlah Unit Usaha di Indonesia
Tahun
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
| |||||
Satuan
|
Unit
|
Persen
|
Unit
|
Persen
|
Unit
|
Persen
|
Unit
|
Persen
|
Unit
|
Persen
|
Jumlah Usaha Mikro
|
45,217,567
|
96.16%
|
48,512,438
|
98.95%
|
49,608,953
|
98.92%
|
5,084,771
|
90.02%
|
52,176,795
|
98.88%
|
Jumlah Usaha Kecil
|
1,694,008
|
3.60%
|
472,602
|
0.96%
|
498,565
|
0.99%
|
522,124
|
9.24%
|
546,675
|
1.04%
|
Jumlah Usaha Menengah
|
105,481
|
0.22%
|
36,763
|
0.07%
|
38,282
|
0.08%
|
36,717
|
0.65%
|
41,133
|
0.08%
|
Jumlah Usaha Besar
|
5,022
|
0.01%
|
4,577
|
0.01%
|
4,463
|
0.01%
|
4,650
|
0.08%
|
4,677
|
0.01%
|
Total Unit Usaha
|
47,022,078
|
100.00%
|
49026380
|
100.00%
|
50,150,263
|
100.00%
|
5,648,262
|
100.00%
|
52,769,280
|
100.00%
|
Sumber: Kementrian KUKM
Tabel 2: Jumlah Tenaga Kerja Yang Diserap Unit Usaha di Indonesia
Tahun
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
| |||||
Satuan
|
Orang
|
Persen
|
Orang
|
Persen
|
Orang
|
Persen
|
Orang
|
Persen
|
Orang
|
Persen
|
Jumlah Tenaga Kerja Usaha Mikro
|
69,966,508
|
74.47%
|
82,071,144
|
85.98%
|
84,452,002
|
84.51%
|
87,810,366
|
85.62%
|
90,012,694
|
85.83%
|
Jumlah Tenaga Kerja Usaha Kecil
|
9,204,768
|
9.80%
|
3,139,711
|
3.29%
|
3,278,793
|
3.28%
|
3,519,843
|
3.43%
|
3,521,073
|
3.36%
|
Jumlah Tenaga Kerja Usaha Menengah
|
4,415,322
|
4.70%
|
2,698,743
|
2.83%
|
2,761,135
|
2.76%
|
2,694,069
|
2.63%
|
2,677,565
|
2.55%
|
Jumlah Tenaga Kerja Usaha Besar
|
2,719,209
|
2.89%
|
2,441,181
|
2.56%
|
2,535,411
|
2.54%
|
2,756,205
|
2.69%
|
2,674,671
|
2.55%
|
Total Tenaga Kerja Indonesia
|
93,958,387
|
91.86%
|
95,456,935
|
94.65%
|
99,930,217
|
93.09%
|
102,552,750
|
94.37%
|
104,870,663
|
94.29%
|
Sumber: Kementrian KUKM
Jenis usaha UMKM di Indonesia terdiri dari: (1) pertanian dan yang terkait dengan pertanian (agribisnis), (2) pertambangan rakyat dan penggalian; (3) industri kecil dan kerajinan rumah tangga; (4) listrik non-PLN, (5) konstruksi; (6) perdagangan besar, eceran, rumah makan, dan jasa komunikasi; (7) angkutan dan komunikasi; (8) lembaga keuangan; dan (9) real estate dan persewaan. Dengan pertumbuhan terbesar pada sektor industri kecil dan kerajinan rumah tangga; perdagangan besar, eceran, RM dan jasa akomodasi; angkutan dan komunikasi; dan real estate dan persewaan (Manikmas 2003).
Secara umum, karakteristik UMKM di Indonesia kebanyakan berbentuk industri mikro yang beroperasi pada level rumahan dengan teknologi rendah dan tenaga kerja yang berpendapatan dan berkemampuan rendah (Dirlanudin 2008). Selain itu, industri UMKM dengan produk yang sama cenderung berkumpul di satu daerah (clustering) karena banyak kemudahan, seperti kemudahan distribusi barang dan pemasaran, yang didapat (Hill 2001, Enright 2000). Sumber modal dari UMKM berasal dari kredit dari bank, anda pribadi, campuran antara keduanya, atau sumber kredit informal lain. Di tahun 2007, penggunaan kredit dari bank untuk UMKM berjumlah Rp. 462,12 trilyun atau 52,5% kredit perbankan dengan komposisi: (a) usaha mikro sebesar Rp. 186,52 trilyun atau 40,4%; (b) usaha kecil sebesar Rp. 131,95 trilyun atau 28,6%; (c) usaha menengah sebesar Rp. 143,69 trilyun atau 31,1 % (Setyobudi 2007). Berdasarkan jenis penggunaan kredit, prosentase terbesar penggunaan kredit UMKM adalah untuk kredit konsumsi dimana per Juni 2007 adalah sebesar 66,7%, yang diikuti oleh kredit modal kerja sebesar 22% dan kredit investasi sebesar 11,3%. Namun, walaupun kredit yang dikeluarkan cukup besar, UMKM yang menggunakan kredit dari bank masih minimal. Kebanyakan UMKM masih menggunakan modal dari sumber anda sendiri atau sumber informal seperti rentenir atau kerabat dan teman (Tambunan 1992).
Dalam hal pemasaran produk, UMKM cenderung bersifat lokal dengan penjualan utama terjadi secara langsung kepada konsumen di pasar tradisional lokal atau penjualan di toko-toko milik sendiri (Dirlanudin 2008). Namun, bahkan dengan penjualan yang bersifat lokal, sumbangan dari hasil penjualan UMKM terhitung sangat besar untuk PDB Indonesia. Di tahun 2008, UMKM menyumbang 58% dari total PDB atas harga berlaku di Indonesia dan 58% untuk PDB atas harga konstan. Namun, untuk ekspor, UMKM hanya menyumbang 12% dari total ekspor non migas Indonesia. Data yang lebih lengkap dapat dilihat di Tabel 3, Tabel 4, dan Tabel 5. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa penetrasi produk UMKM masih kurang menyentuh konsumen di luar daerah keberadaan UMKM tersebut. Selain itu, pasar untuk produk UMKM juga mulai dipersempit oleh keberadaan produk luar negeri[4] dan produk usaha besar yang memiliki harga yang lebih murah sehingga lebih diminati konsumen. Produk-produk tersebut juga sudah mulai memasuki pasar-pasar tradisional di daerah yang terpencil akibat dari pembangunan jaringan transportasi yang lebih baik dari daerah urban ke daerah rural (Tambunan 1992). Persaingan ini, menjadi ancaman dan peluang tersendiri untuk UMKM di Indonesia.
Tabel 3 Tabel PDB Atas Dasar Harga Berlaku Berdasarkan Jenis Industri di Indonesia
Tahun
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
| |||||
Milyar Rupiah
|
Persen
|
Milyar Rupiah
|
Persen
|
Milyar Rupiah
|
Persen
|
Milyar Rupiah
|
Persen
|
Milyar Rupiah
|
Persen
| |
PDB ADH Berlaku Usaha Mikro
|
-
|
-
|
1,017,439
|
32.08%
|
1,209,623
|
32.29%
|
1,510,056
|
32.17%
|
1,751,645
|
33.08%
|
PDB ADH Berlaku Usaha Kecil
|
1,049,056
|
37.81%
|
329,215
|
10.38%
|
386,404
|
10.32%
|
472,830
|
10.07%
|
528,245
|
9.98%
|
PDB ADH Berlaku Usaha Menengah
|
445,576
|
16.06%
|
436,770
|
13.77%
|
511,841
|
13.67%
|
630,340
|
13.43%
|
713,263
|
13.47%
|
PDB ADH Berlaku Usaha Besar
|
1,279,649
|
46.13%
|
1,387,993
|
43.77%
|
1,637,681
|
43.72%
|
2,080,583
|
44.33%
|
2,301,709
|
43.47%
|
PDB ADH Berlaku Indonesia
|
2,774,281
|
100.00%
|
3,171,417
|
100.00%
|
3,745,549
|
100.00%
|
4,693,809
|
100.00%
|
5,294,862
|
100.00%
|
Tabel 4 Tabel PDB Atas Dasar Harga Konstan Berdasarkan Jenis Industri di Indonesia
Tahun
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
| |||||
Milyar Rupiah
|
Persen
|
Milyar Rupiah
|
Persen
|
Milyar Rupiah
|
Persen
|
Milyar Rupiah
|
Persen
|
Milyar Rupiah
|
Persen
| |
PDB ADH Konstan Usaha Mikro
|
-
|
-
|
588,506
|
33.24%
|
620,864
|
32.96%
|
655,704
|
32.82%
|
682,462
|
71.61%
|
PDB ADH Konstan Usaha Kecil
|
688,160
|
39.31%
|
189,667
|
10.71%
|
204,395
|
10.85%
|
217,130
|
10.87%
|
225,478
|
23.66%
|
PDB ADH Konstan Usaha Menengah
|
291,342
|
16.64%
|
257,443
|
14.54%
|
275,411
|
14.62%
|
292,919
|
14.66%
|
306,785
|
32.19%
|
PDB ADH Konstan Usaha Besar
|
771,314
|
44.05%
|
734,893
|
41.51%
|
782,878
|
41.56%
|
832,185
|
41.65%
|
873,567
|
91.66%
|
PDB ADH Konstan Indonesia
|
1,750,815
|
100.00%
|
1,770,508
|
100.00%
|
1,883,549
|
100.00%
|
1,997,938
|
100.00%
|
2,088,292
|
219.11%
|
Tabel 5 Tabel Total Ekspor Non Migas Berdasarkan Jenis Industri di Indonesia
Tahun
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
| |||||
Milyar Rupiah
|
Persen
|
Milyar Rupiah
|
Persen
|
Milyar Rupiah
|
Persen
|
Milyar Rupiah
|
Persen
|
Milyar Rupiah
|
Persen
| |
Total Ekspor Non Migas Usaha Mikro
|
-
|
-
|
11,691
|
1.70%
|
12,918
|
1.63%
|
16,465
|
1.67%
|
14,375
|
1.51%
|
Total Ekspor Non Migas Usaha Kecil
|
28,042
|
5.15%
|
27,637
|
4.01%
|
31,620
|
3.98%
|
40,063
|
4.07%
|
36,840
|
3.87%
|
Total Ekspor Non Migas Usaha Menengah
|
82,290
|
15.12%
|
84,440
|
12.25%
|
95,827
|
12.06%
|
121,481
|
12.35%
|
111,040
|
11.65%
|
Total Ekspor Non Migas Usaha Besar
|
433,864
|
79.73%
|
565,645
|
82.05%
|
654,508
|
82.34%
|
805,532
|
81.90%
|
790,835
|
82.98%
|
Total Ekspor Non Migas
|
544,196
|
100.00%
|
689,413
|
100.00%
|
794,872
|
100.00%
|
983,540
|
100.00%
|
953,090
|
100.00%
|
Sumber: Kementrian KUKM
Grafik Komposisi Perekonomian Indonesia Berdasarkan Jenis Usaha
Kebijakan dan Peraturan Pemerintah Terkait UMKM
Pemerintah telah membuat banyak peraturan dan kebijakan guna membangun UMKM di Indonesia. Kebutuhan UMKM ada pada kebutuhan akan kebijakan perkreditan untuk produksi dan kebijakan untuk memproteksi produk UMKM dari persaingan produk-produk asing dan industri besar dalam pasar sehingga persaingan di dalam negeri bisa menguntungkan produk sendiri. Kedua produk hukum ini sudah dibuat oleh pemerintah. Peraturan-peraturan yang dibuat terkait dengan kebijakan-kebijakan fiscal seperti kredit dengan bunga rendah dan kebijakan-kebijakan hukum seperti UU No. 20 Tahun 2008 Tentang UMKM. Akan tetapi, berbagai pengamatan[5] menunjukkan bahwa kebijakan pengembangan UMKM terbukti tidak berpengaruh besar terhadap perkembangan dan pengembangan UMKM di Indonesia. Penyebab ketidakefektifan kebijakan dan program pemerintah antara lain disebabkan oleh kekurangan sumber daya, ketidakjelasan tujuan, terhambat oleh korupsi, dan tidak melibatkan usaha besar dan jasa komersial untuk mendukung tercapainya tujuan kebijakan-kebijakan tersebut. Selain itu, kebijakan pengembangan UMKM juga tenggelam dalam kebijakan-kebijakan industrialisasi dan pengembangan usaha besar, seperti persetujuan untuk terlibat dalam pasar bebas (Hill 2001).
Permodalan UMKM
Modal menjadi faktor yang sangat penting dalam pengembangan UMKM karena tanpa modal, produksi UMKM tidak akan berjalan. Umumnya, modal UMKM didapat melalui dua sumber, yaitu modal yang didapat dari bank dan modal yang didapat dari sumber selain bank, tabungan pribadi atau pinjaman dari sumber informal seperti kerabat atau rentenir. Pinjaman dari bank berkaitan erat dengan pemerintah yang membuat kebijakan kredit dengan bunga rendah. Di tahun 2007, Bank Indonesia telah mengucurkan anda sebesar 462,12 trilyun atau 52,5% dari kredit perbankan untuk kredit UMKM. Berdasarkan data Bank Indonesia tahun 2007, persentase terbesar penggunaan kredit UMKM adalah untuk kredit konsumsi dimana per Juni 2007 adalah sebesar 66,7%, yang diikuti oleh kredit modal kerja sebesar 22% dan kredit investasi sebesar 11,3%. Besarnya prosentase kredit konsumsi tersebut juga menunjukkan bahwa penyaluran kredit UMKM ke sektor usaha yang produktif masih perlu ditingkatkan (Setyobudi 2007).
Akan tetapi, pengamatan empiris menunjukkan bahwa kredit dari bank belum mencapai ke sebagian besar UMKM. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Asian Development Bank, hanya satu dari lima UMKM yang meminjam anda dari bank (Wengel dan Rodriguez 2006). Permasalahan yang biasa disebutkan antara lain karena tidak tahu prosedur, prosedur sulit, tidak ada agunan,suku bunga tinggi, tidak berminat, dan proposal untuk memperoleh pinjaman ditolak (Manikmas 2003, Tambunan 1992). Karena akses UMKM kepada kredit bank masih kurang, sebagian UMKM menggunakan kredit informal sebagai model usaha. Kredit informal didapat dari keluarga, teman, atau rentenir. Pelaku UMKM cenderung lebih nyaman meminjam uang dari sumber informal daripada dari bank karena keakraban antara peminjam dengan pemilik capital sudah dibangun sejak lama (Tambunan 1992). Penggunaan kredit informal ini memiliki keuntungan tersendiri. Karena kredit yang digunakan tidak berasal dari bank, keberjalanan UMKM tidak terlalu bergantung pada kondisi perbankan nasional sehingga di saat resesi ekonomi terjadi, UMKM masih bisa bertahan.
Sistem Produksi UMKM
Pengamatan empiris[6] menunjukkan sistem produksi UMKM menggunakan teknologi rendah dengan sistem padat karya untuk usaha mikro dan kecil dan teknologi yang lebih maju dengan sistem yang lebih padat modal untuk usaha menengah. Tenaga kerja yang digunakan biasanya bekerja dengan kemampuan yang didapat secara turun temurun atau dari pengalaman bertahun-tahun tanpa penambahan kemampuan yang berarti selama bekerja sehingga desain produk UMKM tidak terlalu banyak berinovasi. Gaji dan kondisi pekerja tergolong buruk untuk usaha mikro dan kecil. Secara umum, sistem produksi UMKM tidak efisien karena penggunaan teknologi rendah dan keperluan akan tenaga kerja yang besar. Ketidakefisienan ini berdampak pada harga produk yang lebih mahal dari pada produk pabrik yang diproduksi massal. Selain itu, karena produksi dilakukan dengan teknologi rendah, control terhadap kualitas sulit untuk dilakukan. Dalam sebuah contoh kasus, persaingan industri keramik di Boyolali membunuh usaha kecil produsen keramik karena lebih mahal (Tambunan 1992). Akan tetapi, pada produk-produk tertentu, sistem produksi yang demikian tidak bermasalah. Dalam contoh kasus lain, sebuah penelitian tentang pengrajin mebel di Jepara, terjadi peningkatan unit usaha meskipun penggunaan teknologi dan tenaga kerja serupa (Loebis dan Schmitz 2005). Dari sini kita dapat melihat bahwa persaingan dengan produk industri lain akan membunuh UMKM jika persaingan terjadi pada produk yang tidak memiliki nilai tambah kreatif dan mampu untuk diproduksi secara massal, contoh kasus Boyolali. Namun, untuk produk yang tidak bisa diproduksi secara massal dan nilai tambah kreatif, seperti mebel Jepara, persaingan tidak akan terjadi karena penambahan nilai kreatif membuat produk UMKM menjadi unik.
Karakteristik sistem produksi UMKM yang berwawasan lokal, baik dari sisi tenaga kerja, teknologi, dan rantai suplai bahan baku yang digunakan, pada akhirnya, akan mengembangkan masyarakat di daerah tersebut karena keberadaannya menggunakan dan mengembangkan modal yang dimiliki oleh masyarakat. Perkembangan modal social masyarakat membuka berbagai kemungkinan akan tindakan baru yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk memperbaiki kondisi sosialnya. Dengan kondisi social masyarakat yang lebih kondusif, pengembangan ekonomi akan lebih mudah terjadi. Perbaikan kondisi ekonomi akan menghasilkan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan yang meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Peningkatan kualitas hidup memberikan dampak positif kembali kepada modal masyarakat di awal dan proses di atas kembali berulang (Phillips dan Pittman 2009). Melalui proses ini, dapat dilihat bahwa pengembangan UMKM di suatu daerah adalah sebuah bentuk pengembangan masyarakat yang akan meningkatkan kemandirian dan keberdayaan masyarakat.
Diagram Alur Pengembangan Masyarakat
Modal masyarakat yang digunakan dan dikembangkan oleh sistem produksi UMKM terbagi menjadi lima, yaitu modal Manusia, modal SDA, modal finansial, modal social, dan modal budaya. Dalam sebuah penelitian, pengembangan UMKM di Jawa Tengah berpengaruh positif terhadap keberdayaan perempuan dalam keluarga (Korawijayanti dan Listyani 2009). Dengan kapasitas manusia yang berkembang, individu di dalam masyarakat akan memiliki kemampuan untuk mengakses dan mengeksploitasi kesempatan yang terbuka, termasuk kesempatan pembentukan lapangan kerja dan eksploitasi sumber daya alam yang ada, untuk kelangsungan dan perbaikan hidupnya. Perkembangan ini akan meningkatkan aktivitas ekonomi di dalam komunitas tersebut. Perkembangan yang terjadi untuk setiap daerah akan menjadi perkembangan yang unik karena masing-masing daerah mempunyai modal budaya yang unik. Karena perkembangan UMKM bersifat lokal, perkembangan UMKM akan meningkatkan modal budaya masing-masing daerah sehingga budaya Indonesia yang sangat kaya dan beragam akan terlestarikan.
Dari sisi ekonomi makro, perekonomian sebuah negara yang memiliki industri UMKM yang mapan akan lebih tahan terhadap krisis perekonomian global yang sering melanda perekonomian dunia. Hal ini disebabkan karena aandya suatu level independensi di dalam keberjalanan ekenomi dari aktivitas ekonomi berbasis ekspor dan domestik sebuah negara. Jika sebuah negara memiliki aktivitas ekonomi domestik yang berimbang dengan aktivitas ekonomi berbasis ekspor, di saat perekonomian global mengalami krisis atau resesi, pertumbuhan ekonomi dari dalam negerinya sendiri akan menjaga stabilitas ekonomi. Maka dapat disimpulkan bahwa pengembangan industri UMKM di suatu negara, akan membuat negara tersebut berdikari dan berdaulat secara ekonomi.
Pemasaran
Secara umum, pemasaran UMKM terjadi secara langsung ke konsumen sehingga penetrasi pasar UMKM terbatas pada konsumen di daerah UMKM itu berada. Dengan sitem penjualan seperti ini, UMKM mampu bernegosiasi dengan konsumen untuk mendapatkan harga yang cocok untuk masing-masing pihak (Tambunan 1992). Penjualan UMKM adalah penjualan dengan interaksi yang tinggi antara produsen dan konsumen sehingga konsumen bisa memesan produk sesuai dengan keinginan. Berbeda dengan usaha besar yang menggunakan sistem produksi massal, keinginan konsumen akan produk mampu difasilitasi oleh UMKM karena UMKM menggunakan sistem produksi batch atau produksi satuan yang memiliki tingkat personalisasi yang tinggi. Oleh karena itu, desain menjadi kekuatan terbesar UMKM dalam daya tawar produknya. Akan tetapi, desain yang ditawarkan UMKM cukup sulit untuk berkembang dan membutuhkan dorongan dari luar untuk berkembang. Disini, peran konsumen dan pasar menjadi penting karena selama ini inovasi terjadi akibat permintaan pasar. Selama ini, konsumen dan produk-produk lain menjadi patokan untuk desain produk yang dibuat.
Pasar Bebas memiliki dampak buruk terhadap UMKM karena harga yang ditawarkan oleh produk luar, terutama Cina, lebih rendah daripada produk UMKM. Dalam sebuah survey yang dilakukan Kementrian Perindustrian, didapat fakta bahwa ACFTA telah menciutkan pasar produk dalam negeri. Hasil survey tersebut menunjukkan bahwa pedagang lebih suka untuk menjual produk Cina daripada produk dalam negeri. Padahal, produk Cina memiliki kualitas di bawah produk dalam negeri tetapi produk mereka lebih kaya akan inovasi[7]. Dari sini kita bisa melihat bahwa inovasi telah menjadi hal yang sangat penting karena saat ini konsumen membeli atas dasar selera. Oleh karena itu, inovasi UMKM harus dikembangkan dan peran pasar dan konsumen dalam pengembangan inovasi produk UMKM sangat penting. Selain itu, karena saat ini konsumen membeli atas dasar selera dan personalisasi, UMKM di Indonesia mempunyai kelebihan lain yaitu budaya lokal. Penggunaan budaya lokal untuk produk-produk kerajinan akan lebih diterima karena sesuai dengan selera masyarakat lokal dan akan menarik pembeli yang ingin melestarikan budaya, sebuah gerakan yang cukup populer akhir-akhir ini akibat isu pencurian budaya oleh Negara lain.
Akses terhadap pasar mempunyai peran yang sangat penting untuk pemasaran UMKM. Dalam sebuah penelitian terhadap industri mebel di Jawa Tengah, industri mebel di Jepara yang memiliki jaringan lebih baik kepada pasar terbukti lebih berkembang daripada industri mebel di Serenan. Industri di Jepara memiliki penetrasi pasar yang lebih luas dari industri di Serenan, bahkan pesanan untuk Industri mebel di Jepara datang dari Skandinavia (Loebis dan Schmitz 2005). Pasar bebas, walaupun di satu sisi merugikan dengan memberikan persaingan, di sisi lain memberikan keuntungan terhadap UMKM dengan memberikan kesempatan untuk mengakses pasar yang selama ini belum terakses. Akses dalam pasar bebas juga bisa meningkatkan kemampuan UMKM dalam produksi dan akhirnya meningkatkan kualitas produk itu sendiri.
Dari penjabaran di atas, ternyata pasar mempunyai peran yang sangat penting dalam pengembangan UMKM. Karena UMKM bekerja dengan mekanisme market driven, pasar, melalui persaingan dan permintaan konsumen, akan memaksa UMKM untuk berkembang. Maka, akses terhadap pasar yang lebih luas akan meningkatkan kualitas industri UMKM di Indonesia. Namun, karena penetrasi pasar UMKM selama ini terbatas kepada konsumen lokal, UMKM belum mampu untuk mendapatkan informasi mengenai pasar yang cukup untuk bersaing di pasar global. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah media untuk menghubungkan produsen UMKM kepada konsumen yang lebih luas. Salah satu media yang bisa digunakan adalah media internet. Dengan jumlah pengguna internet yang terus meningkat, baik di Indonesia maupun dunia, media internet menjadi sarana yang tepat untuk mempertemukan pelaku UMKM dengan konsumen. Dengan pertemuan ini, informasi dari konsumen berupa desain dan produk yang diinginkan akan tersampaikan kepada UMKM. Penyampaian informasi ini akan memberikan produk UMKM kelebihan dari sisi desain dan kualitas produk sehingga bisa bersaing dengan produk luar negeri dan industri besar.
Kesimpulan
Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa pengembangan UMKM di Indonesia dapat dilakukan dengan (1) Pelaksanaan kebijakan pengembangan UMKM yang berintegritas; (2) Proteksi dalam pemasaran produk UMKM; (3) Perluasan penetrasi pasar UMKM melalui media internet; (4) Pembentukan Koperasi Perkreditan yang mampu menyentuh seluruh UMKM; (5) Perbaikan rantai suplai UMKM; (6) Peningkatan sumber daya manusia dan teknologi produksi; (7) Pengelolaan bahan baku demi keberlanjutan pertumbuhan. Pemberlakuan langkah-langkah di atas akan meningkatkan daya saing UMKM di era global dengan cara meningkatkan volume dagang produk UMKM sehingga keuntungan yang didapat oleh UMKM bertambah dan sumber daya untuk memajukan usaha bertambah.
Selain itu, inovasi dari segi desain juga menjadi faktor penting dalam pengembangan UMKM. Persaingan yang terjadi di pasar sekarang adalah persaingan desain dan inovasi karena saat ini konsumen membeli lebih pada dasar selera daripada kebutuhan. Oleh karena itu, inovasi desain dari UMKM menjadi penting untuk meningkatkan daya saing UMKM di pasar. Untuk desain, bangsa Indonesia mempunyai modal yang besar dari budaya pribumi yang kaya dan beragam yang bisa dieksploitasi oleh UMKM sebagai dasar desain produk-produknya. Penggunaan budaya untuk desain produk UMKM juga akan menguntungkan bangsa ini dengan cara mengenalkan budaya Indonesia ke massyarakat luas dan mencegah terjadinya pencurian budaya oleh negara lain.
CATATAN KAKI
[3] Definisi UMKM Berdasarkan UU No 20 Tahun 2008
· Usaha Mikro: Kekayaan Bersih Maksimal lima puluh juta rupiah dan penjualan tahunan maksimum tiga ratus juta rupiah.
· Usaha Kecil: Kekayaan Bersih Maksimal lima ratus juta rupiah dan penjualan tahunan maksimum dua milyar lima ratus juta rupiah
· Usaha Menengah: : Kekayaan Bersih Maksimal sepuluh milyar rupiah dan penjualan tahunan maksimum lima puluh milyar rupiah.
DAFTAR PUSTAKA
Dirlanudin. "Paradigma Baru Pengembangan Usaha Kecil." Jurnal Ilmiah Niagara 1, no. 2 (2008): 47-67.
Enright, Michael J. "Regional Clusters dan Multinational Enterprises: Independence, Dependence, or Interdependence?" International Studies of Management & Organization (M.E, Sharpe, Inc.) 30, no. 2 (2000): 114-138.
Hill, Hal. "Small dan Medium Enterprises In Indonesia: Old Policy Challenges for a New Administration." Asian Survey XLI, no. 2 (April 2001): 248-270.
Korawijayanti, Lardin, dan Tyas Listyani. "Pengaruh Perkembangan Usaha Kecil Menengah Terhadap Keberdayaan Perempuan Di Jawa Tengah." Ragam 2, no. 9 (Agustus 2009): 166-183.
Little, I.M.D. "Small Manufacturing Enterprises in Developing Countries." The World Bank Economic Review (Oxford University Press) 1, no. 2 (January 1987): 203-235.
Loebis, Linda, dan Hubert Schmitz. "Java Furniture Makers: Globalisation Winners or Losers?" Development in Practice (Oxfam GB) 3, no. 4 (June 2005): 514-521.
Manikmas, M. Oka Adnyana. "Potensi Pengembangan UKM Dalam Era Otonomi Daerah." SOCA 3, no. 1 (2003): 1-16.
Phillips, Rhonda, dan Robert H Pittman, . An Introduction To Community Development. Routledge, 2009.
Setyobudi, Andang. "Peran Serta BI Dalam Pengembangan UMKM." Buletin Hukum dan Kebanksentralan 5, no. 2 (Agustus 2007): 29-35.
Sudarmini, Ketut. "Peran Perbankan Dalam Pengembangan UMKM di Provinsi Bali." Jurnal Lingkungan & Pembangunan Wicaksana 15, no. 2 (Agustus 2006): 138-149.
Tambunan, T. "The Role of Small Firms in Indonesia." Small Business Economics (Springer) 4, no. 1 (March 1992): 59-77.
Wengel, Jan ter, dan Edgard Rodriguez. "SME Export Performance in Indonesia After The Crisis." Small Business Economics (Springer) 26 (2006): 25-37.
No comments:
Post a Comment