Oleh Mirza Adrian NP
Tulisan ini dimuat di Majalah Cremona Edisi ke 9.
Dalam sebuah proses konstruksi, terutama di daerah dengan lahan yang sudah sangat terbatas, proses pembebasan lahan sudah menjadi kepastian. Namun, pelaksanaan pembebasan lahan tidak selalu berjalan lancar. Dalam beberapa kasus, seperti proyek MRT di jakarta, masalah pembebasan lahan telah memperlambat keberjalanan proyek yang hasilnya sangat dibutuhkan oleh publik. Permasalahan utama dari pembebasan lahan adalah pertukaran kepemilikan lahan dari pemilik lahan kepada pemilik proyek. Penyebabnya adalah permasalahan hukum yang berlaku tentang perpindahan kepemilikan lahan masih belum jelas.
Untuk perpindahan kepemilikan lahan dari kepemilikan pribadi kepada pemerintah untuk kepentingan umum, peraturan-peraturan yang berlaku adalah UU Agraria tahun 1960 yang kemudian diturunkan menjadi Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang pengadaan lahan untuk kepentingan umum. Peraturan-peraturan tersebut berlandaskan bahwa tanah dan air di Indonesia dapat digunakan oleh pemerintah untuk kesejahteraan umum. Namun, pemerintah tidak memungkiri kepemilikan pribadi atas tanah sehingga penggunaan tanah pribadi oleh pemerintah tetap harus memberikan ganti rugi yang layak kepada pemilik tanah. Ganti rugi ini disepakati bersama melalui musyawarah oleh perwakilan pemerintah dan pemilik tanah agar tidak ada pihak yang dirugikan. Akan tetapi, negosiasi terkadang tidak mencapai kesepakatan sehingga dalam berbagai kasus pengadaan tanah menjadi proses yang lama dan alot.
Untuk pengadaan lahan untuk kepentingan umum, pemerintah membentuk panitia pengadaan tanah yang berfungsi sebagai fasilitator antara pemerintah dan pemilik tanah. Pengambilalihan tanah yang diinginkan dapat dilakukan melalui empat cara: musyawarah atau negosiasi, mediasi, pengadilan, dan arbitrasi. Musyawarah dilakukan oleh kedua belah pihak untuk menentukan ganti rugi yang bisa berupa uang, tanah pengganti, atau pemukiman kembali berdasarkan nilai jual tanah dan nilai jual objek yang dibangun di atasnya. Dalam musyawarah, kesepakatan semua pihak memastikan tidak ada pihak yang dirugikan oleh pengambilalihan tanah. Jika negosiasi tidak dapat mencapai solusi, pihak-pihak yang bersengketa dapat mencari orang ketiga sebagai mediator, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional, untuk membantu pencarian solusi dari kedua pihak yang bersengketa. Jadi dengan metode ini perwakilan pemerintah yang bertemu dengan perwakilan warga dengan ditengahi oleh perwakilan dari BPN sebagai mediator duduk bersama untuk bermusyawarah mencari solusi permasalahan. Perwakilan dari BPN harus bersikap netral dengan membawa data-data mengenai harga tanah, tanah ganti, atau perkiraan harga tanah kedepan. Jika salah satu pihak yang bersengketa merasa dirugikan, pihak yang berkeberatan dapat mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan mengajukan pengambilalihan kepada pengadilan.
Jika penyelesaian sengketa sudah masuk ke dalam pengadilan, semua pihak harus siap dengan keputusan hakim atas kepemilikan lahan karena keputusan pengadilan bersifat tetap dan pasti. Pengadilan akan meninjau klaim masing-masing pihak atas tanah yang disengketakan dan kemudian membuat sebuah keputusan tentang tanah yang disengketakan yang harus dijalankan oleh semua pihak-pihak yang terkait. Akan tetapi, jika setelah melalui penelitian ternyata Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional sudah benar menurut hukum dan sesuai dengan prosedur yang berlaku, maka Kepala Badan Pertanahan Nasional dapat juga mengeluarkan suatu keputusan yang berisi menolak tuntutan pihak ketiga yang berkeberatan atas keputusan BPN tersebut. Sebagai konsekuensi dari penolakan tersebut berarti keputusan BPN yang telah dikeluarkan tersebut tetap benar dan sah walaupun ada pihak lain yang mengajukan ke pengadilan setempat. Karena proses pengadilan dapat berlangsung sangat lama, banyak orang yang memilih jalan arbitrasi sebagai metode pencapaian keputusan atas kepemilikan tanah. Dengan lembaga arbiter, untuk kasus di Indonesia, Badan Arbitrase Nasional Indonesia, kepemilikan tanah diputuskan oleh BANI dengan melihat dokumen-dokumen yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Cara ini lebih praktis dan memakan waktu yang lebih singkat daripada pengadilan.
Secara garis besar, proses pengambilalihan lahan dapat digambarkan melalui flowchart sebagai berikut:
Dari penjabaran di atas, dapat dilihat bahwa masalah pembebasan lahan membutuhkan dasar hukum yang lebih baik agar pengadaan lahan bisa dilakukan secara cepat tanpa merugikan pihak-pihak yang terlibat. Saat ini, DPR sedang merumuskan RUU Pembebasan Lahan untuk memberikan dasar hukum baru sebagai landasan pembebasan lahan demi kepentingan umum agar pelaksanaan proyek yang menguntungkan publik dapat berjalan dengan lancar dan public dapat mendapatkan fasilitas dan pelayanan yang baik. Selain itu, lancarnya keberjalanan proyek diharapkan mampu untuk menghapus keengganan investor untuk berinvestasi karena kerugian yang diterima akibat dari keterlambatan pelaksanaan proyek sehingga investasi di sektor fasilitas public meningkat.
No comments:
Post a Comment