Friday, 26 October 2012

Dangdut: Goyangan Jiwa Masyarakat Indonesia




  Tulisan ini disajikan dalam Forum Kebudayaan Indonesia di ITB. Tulisan ini lebih merupakan ringkasan buku yang ditulis oleh Andrew Weintraub berjudul Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia's Most Popular Music yang kemudian diterjemahkan menjadi Dangdut: Musik, ldentitas, dan Budaya Indonesia oleh Arif Bagus Prasetyo dan diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia.

Oleh: Mirza Adrian NP

Banyak orang yang berkata bahwa dangdut adalah musik yang tidak pantas untuk dikaji, bahkan mendengarkan musik dangdut di kelas social tertentu adalah tindakan yang memalukan. Dangdut selalu dipandang sebagai musik yang kacangan, katro, norak, kampungan, ndeso, dan selalu dipandang sebelah mata oleh kelas menengah ke atas dalam posisinya sebagai musik populer Indonesia. Namun, Dangdut, sebagai sebuah musik populer yang mampu menembus berbagai macam lapisan masyarakat, bisa menjadi sebuah prisma yang berguna untuk melihat kondisi masyarakat kita, melebihi musik pop, rock, atau jazz. Sehingga, kajian mengenai dangdut pada dasarnya adalah sebuah upaya untuk melihat paradigma masyarakat Indonesia secara mendalam dari sudut pandang yang lebih santai. Tulisan ini akan menjabarkan cerita perkembangan Dangdut yang diambil dari buku Andrew Weintraub berjudul Dangdut: Musik, ldentitas, dan Budaya Indonesia dan akhirnya mencoba untuk mejawab pertanyaan: Di era sekarang ini, dimana pilihan musik hampir tanpa batas, apakah dangdut masih relevan untuk dikaji?


I.         Awal mula Dangdut
Dangdut memulai perjalanannya dari Orkes Melayu yang berkembang di Indonesia di awal tahun 1950an. Perkembangan ini dimulai dari era setelah kemerdekaan 1945, para musisi mengusung sensibilitas kreatif baru ke dalam orkes Melayu, khususnya di kawasan urban Medan, Jakarta, dan Surabaya. Selain memainkan musik hibrida, ensambel di Jakarta dan Surabaya mengambil melodi film India dan menggubah melodi baru berdasarkan melodi itu dan memuluskan jalan bagi kemunculan dangdut. Dekade 1950-an mewakili saling pengaruh multikultural yang mendalam antara bunyi Melayu, Arab, India, Amerika Latin, dan Eropa yang beredar dalam musik populer. Grup-grup orkes ini kemudian berkembang berdasarkan lokalitasnya masing-masing. orkes Melayu di Jakarta mulai membawakan lagu-lagu film India dan menggunakan cengkok vokal India pada awal 1950-an, sementara penyanyi orkes Melayu di Medan, tidak membawakan jenis lagu ini dan orkes Melayu di Surabaya memperdengarkan bunyi yang lebih bernuansa Timur Tengah. Dari percampuran inilah kemudian irama-irama dangdut mulai terbentuk.

Perkembangan ini kemudian diperbesar dengan kebijakan politik Sukarno yang mengecam budaya-budaya Barat. Pada saat itu, Grup-grup musik populer yang namanya keinggris-inggrisan dipaksa berganti nama Indonesia untuk menghilangkan pengaruh musik Amerika. Namun, karena sentimen persaudaraan antara koloni, Sukarno membuka pintu untuk musik populer dari India dan Timur Tengah. Ia mengizinkan impor film (musikal) dari India pada 1950-1964. Hal ini berdampak besar terhadap perkembangan industri hiburan di Indonesia. Proses-proses "menerjemahkan lagu" dari India yang terjadi pada saat itu membentuk genre proto-dangdut pada periode itu. Sehingga dangdut kemudian tercipta sebagai dialog global antar-budaya, di mana musik populer India, Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Serikat diapropriasi, diterjemahkan, ditransformasi, dan diaduk dengan sensibilitas lokal Indonesia di pusat urban Jakarta dan Surabaya dekade 1950-an dan 1960-an.

Di pusat-pusat urban pada saat itu, film India membawa sesuatu yang baru dan menggairahkan bagi khalayak Indonesia dekade 1950-an. Film India membawa sebuah keceriaan yang khas dengan musik dan tarian yang selalu hadir di setiap filmnya. Kehadiran ini kemudian disambut oleh para musisi Indonesia yang di awal 1960-an para komponis Indonesia mulai menciptakan lagu-lagu yang diilhami lagu film India, dan juga mengadaptasi lirik Indonesia dengan melodi lagu film India. Perbuatan ini meletakkan landasan untuk dangdut, meski nama genre musik ini (dangdut) baru muncul satu dekade kemudian. Penyanyi dan komponis Ellya Khadam, menjadi salah satu primadona pada era ini. Dalam penampilannya bernyanyi, Ellya Khadam mengenakan busana India dan berusaha menyamai tarian dan mimik wajah bintang film India. Ellya adalah komponis yang sangat produktif. Lagu ciptaannya di antaranya "Termenung", "Kau Pergi Tanpa Pesan", "Pengertian", "Djanji", dan "Mengharap". Musik film Hindi merupakan mata-air bagi banyak lagunya yang paling terkenal, termasuk "Boneka dari India" dan "Termenung".

Barangkali unsur paling khas dari prototipe dangdut awal seperti "Djanji" adalah pola ritmik yang dimainkan dengan gendang kapsul, gendang membran ganda berukuran sedang yang bunyinya mendekati tabla yang terdengar dalam lagu film India. Di Indonesia, irama pengiring ini disebut "chalte" atau "calte". Ada lima suku kata utama gendang yang membentuk pola dasar Chalte. Tiga sukukata gendang-"dang", "duut", dan "dut"-dihasilkan pada membran besar gendang oleh tangan kiri penggendang. Sementara sukukata gendang "tak" dan "tung" dihasilkan pada membran kecil gendang oleh tangan kanan penggendang. Pada akhir 1960-an, orkes Melayu Purnama (O.M. Purnama) memelopori perubahan dari memakai gendang kapsul ke satu set dua gendang kecil yang kelak menjadi gendang dangdut.

Selain musik India, musik Timur Tengah juga memainkan peran dalam kelahiran dangdut. Di Surabaya, Orkes Melayu lebih condong ke bunyi Timur Tengah. Aransemen-aransemen orkestralnya mencerminkan pengaruh kental Timur Tengah, khususnya Mesir dan Lebanon. Penyanyi dan komponisnya khususnya terpengaruh penyanyi Mesir. Salah satu kelompok yang terkenal adalah Orkes Melayu Sinar Kemala. Sinar Kemala tampil dengan busana modern Barat: anggota laki-laki mengenakan setelan Barat, dan penyanyi perempuan bergaun anggun. OM Sinar Kemala juga sering melantunkan tema keislaman dan kata-kata Arab; contohnya, "Keagungan Tuhan", "Perintah Ilahi", "Insjaflah". Nama-nama penyanyinya juga mencerminkan orientasi Timur Tengah, antara lain Nurkumala, Nur A'in, Latifah, dan Ida Laila. Bagian vokal yang sangat bercengkok menunjukkan kemiripan dengan gaya seni baca Al-Quran.

Dari OM Sinar Kemala, lahir penyanyi A. Rafiq yang lagu-lagunya menandai perpindahan dari proto-dangdut menjadi dangdut yang kita ketahui sekarang. Ada beberapa elemen penting yang dibawa oleh A. Rafiq ke dalam music dangdut. Pertama, A. Rafiq memboyong elemen fisik dan visual dramatik ke dangdut. Dia juga memadukan gerakan dari film India, silat Cina, tari Melayu (zapin), dan rock 'n' roll Amerika. Sehingga menghasilkan goyang pinggul dan gaya kostum mencolok ke dangdut bersama celana panjang cutbrai khas yang dikenal sebagai "celana A. Rafiq". Bersama gerakan, tingkah-polah, aksi panggung, dan kostumnya yang mirip Elvis, A. Rafiq menyanyikan dan menciptakan lagu-lagu yang kental dengan melodi India. Contohnya, "Pandangan Pertama" didasari lagu "Cheda Mere Dil Ne" dalam film Asli Nagli, yang dinyanyikan oleh Dev Anand di tahun 1962. Namun hit terbesarnya, "Pengalaman Pertama", adalah ciptaannya sendiri yang dilandasi ikhtiar "mengawinkan berbagai-macam gaya".

Pada tahun 1960an, dangdut sudah hadir sebagai sebuah genre tersendiri di tanah air. Namun di tahun 1970an, dangdut mengalami persaingan ketat dengan terutama masuknya unsur-unsur rock dari Amerika Serikat dan Britania Raya, serta munculnya budaya kaset yang berpengaruh sangat besar. Dangdut masih harus bersaing di dalam pasar sebagai kekuatan dominan dalam musik populer Indonesia.  Perkembangan dangdut selanjutnya berkaitan erat dengan kebijakan politik Orde Baru yang pro terhadap pengaruh luar dan sentimen agama yang dibawa oleh masyarakat muslim Indonesia.

II.       Berenang di Dalam Arus
a.    Perkembangan Dangdut Hingga Pertengahan Tahun 1970-an
Kudeta Soeharto pada tahun 1966 membukakan Indonesia terhadap ekspansi industri yang tiada henti, kapitalisme gaya Barat, komodifikasi intensif, dan budaya konsumerisme. Berkat teknologi elektronik baru, musik berbentuk rekaman kaset dapat menjangkau daerah-daerah yang jauh dari pusat-pusat produksi di perkotaan. Berbagai bentuk promosi inovatif – film, papan reklame, dan majalah – menumbuhkan minat terhadap kehidupan sosial para penghibur dan selebriti. Cara-cara baru dalam menampilkan musik di konser, festival, dan pekan raya yang terbuka untuk umum di kota-kota besar telah memasyarakatkan ragam-ragam musik rock dan musik pop yang baru muncul. Etos baru konsumerisme di Indonesia telah memberikan motivasi, dan juga sumber daya, kepada lebih banyak orang untuk membeli berbagai produk komersial yang berkaitan dengan musik popular. Pada atmosfer seperti inilah dangdut harus bersaing dengan musik-musik populer lainnya.

Akan tetapi, dalam persaingan ini, dangdut memiliki kelebihan. Anggapan tentang dangdut sebagai musik "rakyat" muncul di era ini, dan semenjak itu menjadi tema yang tak pernah pudar. Pada 1970an, kalangan pendengar dangdut menempati lapisan bawah dalam struktur politik dan ekonomi, serta digambarkan dalam berbagai artikel majalah dan koran pada masa itu sebagai: "rakyat kecil", "rakyat jelata ", "golongan bawah", "kaum marginal", "pinggiran", dan "kelas menengah ke bawah". Berbeda dengan musik-musik jazz, rock, atau pop dengan gaya vokal semanis madu, tempo pelan dan sepi humor serta tidak memiliki akar historis atau ciri musikal yang mengaitkannya dengan derita rakyat, dangdut tumbuh secara alami dari kondisi sosial-ekonomi dan kultural konsumennya, dan  merepresentasikan kepentingan, selera, dan aspirasi mereka. Faktor ini menyebabkan Dangdut dapat berkembang di lingkungan-lingkungan urban yang terpinggirkan secara sosial dan ekonomi pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, termasuk Bangunrejo (Surabaya), Sunan Kuning (Semarang), dan Planet Senen (Jakarta).

Cerita-cerita mengenai asal-mula nama "dangdut" berhubungan secara langsung dengan akar musik ini di kalangan masyarakat bawah. Editor majalah musik Aktuil konon memunculkan istilah "dangdut" sebagai label penghinaan untuk pola irama rancak gendang khas musik ini yang berbunyi "dang-dut". Kata ini sebenarnya memiliki unsur cemooh kelompok menengah ke atas atau kelompok “gedongan” kepada musik “kampung” ini. Dangdut menyimbolkan massa "di luar sana" sementara pembaca koran dan majalah dari kalangan kelas-menengah dan elite memosisikan diri dalam perbandingan dengan khalayak kelas bawah dangdut. Massa yang menjadi khalayak dangdut umumnya dibayangkan secara negatif sebagai tidak berpendidikan, bodoh, dan irasional. Mereka dipandang tidak mampu bertindak bersama-sama secara terorganisir. Mereka tidak bertindak, melainkan ditindak: dijadikan objek yang bisa dibaca-baca di media cetak populer. Ketika mereka betul-betul menjadi aktif, di konser, misalnya, mereka dituduh susah diatur dan beringas. Dengan mengatakan kata “Dangdut”, kaum ‘gedongan’ mencemooh suara gendang yang dominan dalam orkes Melayu, mereka tidak bisa menerima cengkok India penyanyi dangdut, kenorakan dandanan dangdut, atau etiket konsernya. Penyanyi dangdut perempuan diolok-olok karena memakai rok mini dan sepatu bot setinggi lutut. Bagi kaum ‘gedongan’ pada masa itu, musik adalah sesuatu yang harus didengarkan dan diapresiasi bunyinya. Namun cemoohan ini kemudian diadopsi menjadi sebuah tanda definisi-diri yang positif oleh para musisi dangdut.

Nama "dangdut" kemudian beredar luas melalui radio pada tahun 1973-1974 berkat jasa Bung Mangkudilaga, penyiar radio yang giat mempromosikan dangdut di Radio Agustina melalui acara radio "Sop Dangdut", tajuk yang mencerminkan kualitas merakyat musik dangdut dan campuran unsur-unsur pembentuknya yang beraneka rnacam seperti sop. Stasiun-stasiun radio kemudian melirik pasar konsumen urban yang sedang tumbuh ini. Kepopuleran dangdut kemudian mulai tumbuh hingga pada 1975 dangdut menguasai 75% dari seluruh musik rekaman, yang diproduksi oleh para pencetak hit pop terdahulu, seperti Koes Plus, D'Lloyd, dan Bimbo. Namun, puncak kepopuleran dangdut dicapai melalui pertunjukan seorang anak muda yang berbakat, gelisah, brilian, dan kharismatik bernama Rhoma Irama yang telah mengubah industri musik ini pada pertengahan 1970an.

b.   Rhoma Irama dan Revolusi Dangdut I
Kehadiran Rhoma Irama meratakan jalan bagi dangdut untuk menjadi musik terpopuler Indonesia. Ia membawa perubahan ke dalam dangdut dari segi musikalitas dan lirik sehingga dangdut mampu menjadi musik yang mampu diterima semua kalangan, baik gedongan maupun kampungan, dan menjadi salah satu wahana untuk membentuk gagasan-gagasan moral dan politik rakyat. Secara lirik, Rhoma Irama mampu memasukkan unsur Islam dan melokalkan unsur tersebut di dalam lagu-lagunya sehingga membawakan Islam yang lebih mudah dijangkau oleh berbagai kalangan. Dari 307 lagu Rhoma Irama, 150 lagu menyampaikan wejangan mengenai apa artinya menjadi manusia yang berbudi luhur, dan pesan ini terbagi menjadi kategori-kategori berikut: akhlak, dengan tekanan religious yang kuat (57 lagu); akhlak, tanpa menyebut agama secara eksplisit (29 lagu); dan cinta serta hubungan antara laki-laki dan perempuan (20 lagu). Selain itu, lagu-lagu dalam kategori-kategori berikut ini mengandung amanat, tapi tidak dinyatakan secara eksplisit: masyarakat dan politik (24 lagu); dan kehidupan sehari-hari (20 lagu). Pemasukan unsur Islam ini disukai oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim dan pesan-pesan moral yang terkandung di dalam lagu-lagu Rhoma Irama menjadikan dangdut sebagai wahana populer untuk membentuk gagasan-gagasan moral dan politik rakyat.

Selain lirik, Rhoma Irama juga mengubah unsur musikalitas dangdut yang awalnya hanya berkiblat pada unsur musik melayu dan arab menjadi sebuah musik yang mencampurkan unsur-unsur musik dari Barat, seperti rock ‘n’ roll dan hard metal.  Rhoma Irama sendiri mengaku bahwa unsur musiknya dipengaruhi oleh band-band seperti Deep Purple, Rolling Stones, dan Led Zeppelin. Pengaruh ini dapat dilihat dari teknik bernyanyi seperti Elvis yang bergetar atau Tom Jones yang melakukan pematahan frase dengan beralih secara cepat ke falsetto yang bisa didengar pada lagu-lagu seperti Darah Muda, Kelana, atau Cuma Kamu. Unsur-unsur rock lainnya termasuk interupsi penghentian waktu normal (stop time), frase-frase lagu yang bersahutan (call and response), permainan solo gitar listrik, dan tema lirik yang melantunkan sikap bebas dari tanggung jawab khas anak muda sering didengar pada lagu-lagu Rhoma Irama. Unsur rock juga masuk ke dalam tata panggung dan koreografi Rhoma Irama. Tata panggung konser Rhoma Irama didesain untuk menyaingi konser rock pada saat itu dengan cahaya lampu warna-warni yang bergebyaran, patung-patung megah tampak di latar belakang panggung, asap bergulung-gulung dari mesin penyembur asap, dan kembang api meledak di pentas, juga pesan-pesan dituliskan dengan cahaya gemerlap. Penggunaan unsur-unsur ini melambungkan dangdut yang dianggap sudah ketinggalan zaman, berlirik kuno dan murahan serta memiliki syair lagu yang tidak mendidik.

Selain sebagai penyanyi, Rhoma Irama juga menjadi aktor di lebih dari 20 film. Ini merupakan hal baru di dalam dunia dangdut dimana seorang artis menggunakan teknologi baru dan jaringan distribusi massal untuk menyokong perkembangan dangdut. Film dan televisi berperan sentral dalam konstruksi selebriti perdangdutan karena film dipasarkan bersama rekaman musik popular sehingga musik yang dipasarkan mendapatkan konteks yang bisa diingat oleh masyarakat luas. Selain itu, film juga penting karena film mampu menghubungkan antara artis dan penggemarnya. Melalui lensa kamera, pemirsa memasuki hubungan yang akrab tapi sangat berjarak dengan bintang-bintang dangdut. Lembaga-lembaga komersial rekaman musik, radio, televisi, dan media cetak populer, membantu mengonstruksi "ilusi keakraban" antara selebriti dan khalayak anonim. Melalui keakraban ini, penggemar dangdut bisa mengidentifikasikan sang artis sebagai bagian dari diri mereka. Melalui kisah-kisah sukses lintas-kelas di mana pecundang akhirnya tampil menjadi pemenang, penggemar bisa mendapatkan pengalaman pribadi yang lebih langsung dengannya daripada menonton konser, di mana ada penghalang dan panggung tinggi yang memisahkan. Proses ini membuat mempopulerkan dangdut lebih jauh lagi karena proses ini mampu untuk menyentuh kalangan menengah ke atas yang pada awalnya melakukan penolakan terhadap dangdut. Kesuksesan Rhoma Irama dalam industri hiburan merangsang perkembangan bentuk-bentuk musikal baru dan makna-makna baru dalam dangdut, serta menstimulasi kemunculan bintang-bintang baru, dan ekspansi industri dangdut yang terus memperkuat identitas musikalnya sebagai “darah, jiwa dan suara rakyat”.

c.    Menjadi Lambang Rakyat
Popularitas dangdut mulai melejit pada pertengahan sampai akhir 1970-an, menyusul sukses komersial berbagai rekaman musik, konser, dan film Rhoma Irama sehingga industri budaya seputar dangdut mulai terbentuk. Tapi berbeda dari lagu-lagu Rhoma Irama, lirik-lirik lagu dangdut yang beredar tersebut tidak mengungkapkan pesan didaktik atau religius. Sejumlah besar teks lagu dangdut melukiskan duka dan derita, umumnya akibat kegagalan hubungan, impitan ekonomi, ketidakadilan sosial, dan hancurnya harapan. Bukan menawarkan nasihat tentang bagaimana mengatasi masalah, atau menghadapi kesulitan dengan kebesaran jiwa (sebagaimana dalam lagu-lagu Rhoma Irama), lirik-lirik itu melantunkan fatalisme, kerelaan, dan idealism dengan teks-teks yang meratap. Dengan kombinasi dari lirik yang meratap, irama joget yang rancak, dan gaya pementasan norak, Dangdut menjadi musik untuk bergoyang dan bersenang-senang di kelab hiburan malam, bar, dan diskotek.

Dangdut merepresentasikan "tontonan ekses" linguistik dan visual yang mengeksploitasi gestur-gestur berlebihan hingga ke batas maknanya. Para pendangdut menjajal tapal-batas dari apa yang dapat diungkapkan dan kisah apa yang bisa disampaikan di ranah publik dengan mempergunakan kepekaan teatrikal yang kental, busana, dan gerak, untuk mengungkapkan emosi. Sebagaimana tontonan gulat yang diungkapkan oleh Barthes, dangdut memuat citra-citra yang "diisikan sampai meluap" dan menyejajarkan unsur-unsur yang terkesan bertentangan, terutama teks-teks dukalara dan konteks-konteks kenikmatan badani. Namun, berbeda dengan "cahaya tanpa bayangan" Barthes yang menggulirkan makna ke sebuah kesimpulan logis, dangdut membeberkan kemungkinan-kemungkinan dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan. Lagu-lagu dangdut dipenuhi berbagai bayangan, wilayah abu-abu, dan tafsir majemuk yang menjadi salah satu daya tarik dangdut. Tontonan ekses di dalam dangdut dapat dilihat pada lirik lagu-lagu hit dekade 1980-an yang banyak mengungkapkan perasaan menderita, sengsara, dan merana namun dibalut dalam irama joget yang menyenangkan. Dalam lagu-lagu tersebut, penderitaan muncul dalam berbagai bentuk: kegagalan hubungan, impitan ekonomi, ketidakadilan sosial, dan kejamnya kondisi sosial dalam kehidupan modern sehari-hari namun lagu-lagu tersebut tetap diputar dan dinikmati orang dalam upaya mereka untuk melepas penat.

Hanya dengan meletakkan bunyi musik, teks dan pertunjukan dalam konteks komersialnya, kita dapat memahami makna simbolis dangdut pada periode ini. Pada akhir 1970-an dan awal sampai pertengahan 1980-an, dangdut mengisi pangsa pasar sebagai bentuk utama musik tari populer yang dibesarkan media massa. Bahkan, para penyanyi pop mulai menyeberang ke dangdut, termasuk penyanyi "rock murni" Ahmad Albar, vokalis God Bless, dan penyanyi pop Titi Qadarsih yang tadinya "antidangdut".

Salah satu penyanyi yang memberikan nafas baru kepada dangdut pada era ini adalah Camelia Malik. Penyanyi ini membentuk grup musik Tarantula yang menyanyikan lagu popular dengan judul “Colak-colek”. Lagu "Colak-colek" menandai era baru dangdut pop yang mengawinkan frase-frase melodik pendek yang mengena, salsa, rock dan disko, dengan irama dangdut (pola-pola berbasis India dan Timur Tengah) dan instrumen dangdut (suling dan gendang). Di samping itu, Tarantula menambahkan sitar India, alat musik yang berkonotasi musik film India maupun rock Inggris dekade 1960-an. Lagu ini memikat khalayak muda, khususnya kalangan kelas menengah-ke-atas yang baru muncul karena lagu ini mengumandangkan bunyi musik pop Indonesia. Berlawanan dengan vokal yang sangat bercengkok dalam orkes Melayu), vokal Camelia Malik nyaris tanpa cengkok. Warna vokalnya halus, berbeda dari vokal tipis Ellya Khadam atau warna vocal Elvy Sukaesih yang sangat bertekstur. Selain itu, Camelia Malik mengusung visualitas jenis baru ke dalam dangdut. Dalam berbagai pementasan sejak akhir 1970-an, ia menampilkan gerak tari kreasi baru dari tari jaipongan Sunda yang dimodernkan. Tidak seperti joget bebas yang umumnya dipakai dalam dangdut, jaipongan dan ragam-ragam tari lainnya harus dipelajari secara formal, sehingga aksi panggung Camelia Malik menjadi berbeda dari penyanyi-penyanyi dangdut lainnya. Ragam tari "sekolahan" ini juga menandakan "kelas", karena, menurut Camelia Malik, bukan "hanya membutuhkan tenaga, sama melenturkan sebagian tubuh untuk menggoyangkan pinggul dan perut. Naik turun, naik turun. Tapi kalau jaipongan, ada aturannya, ada pakemnya, ada galeongnya, ada pundak, ada pinggul, jadi nggak mungkin saya berpikir hanya memperlihatkan keseksiannya. Itu tarian yang dipelajari. Bukan sekadar goyang-goyang".

Namun, pada saat itu, suara perempuan yang paling berpengaruh dalam industri rekaman dangdut adalah milik Elvy Sukaesih, Sang Ratu Dangdut. Sesungguhnya, Elvy Sukaesih dianggap sebagai pewaris gaya bernyanyi bercengkok India seperti Ellya Khadam. Namun setelah ia mengembangkan gayanya sendiri pada akhir 1970-an, dan khususnya pada 1980-an, kualitas vokalnya menjadi sangat bertekstur, berdesah, dan dicirikan oleh rentang teknik vokal yang luas. Lirik lagu dan gaya pementasannya menjadi lebih seksual. Ciri khas yang dapat dilihat dalam lagunya “Mandi Madu”. Penyampaian yang mendesah-desah, cengkok vokal yang meliuk-liuk, penggelinciran nada menurun disertai helaan napas panjang, dan seruan-seruan vokal yang panas, mengisi ruang musikal seakan-akan satu melodi yang berkesinambungan. Kesan mengisi ruang musikal ini menunjukkan gairah dan gelora perasaan. Suatu penegasan nafsu dan keberdayaan perempuan – sebuah wacana yang sepertinya sudah menjadi bagian inheren dari dangdut.

Tontonan ekses pada dangdut membuat dangdut terkena sensor oleh Orde baru hingga tahun 1990an. Pola sensor negara ini mengilustrasikan pengonstruksian khalayak dangdut sebagai objek wacana Orde Baru, yang diinstruksikan dari-atas-ke-bawah (topdown), tentang seni dan budaya pada dekade 1980-an, yang dicirikan oleh pengaturan dan pengawasan. Pendekatan top-down terhadap kebudayaan dilaksanakan dalam media lainnya, terutama jaringan televisi negara, TVRI. TVRI membidik kalangan yang menonton televisi-golongan masyarakat kelas menengah dan elite, bukan mayoritas masyarakat-dan membuat program sesuai keinginan penonton. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dangdut memiliki jumlah penggemar yang besar sehingga kondisi Dangdut bisa menjadi barometer sosial masyarakat Indonesia karena lirik dangdut berisi keterusterangan atau kejujuran pengungkapan yang sulit ditemui dalam jenis musik lainnya di Indonesia. Dangdut, sebagai sebuah bentuk budaya populer mempunyai kekuatan politik yang kuat dan berakar di masyarakat kelas bawah. Fakta inilah yang akhirnya membuat pemerintah Order Baru melirik dangdut sebagai alat propaganda hingga akhirnya di tahun 1990-an di berbagai konser yang disponsori pemerintah, di media cetak populer dan pidato di televisi, dangdut digembargemborkan sebagai musik semua warga Indonesia.

d.    Dangdut dan Pencarian Kebudayaan Nasional
Di tahun 1990-an, musik dangdut yang tadinya diasosiasikan dengan kaum kelas-bawah kini penggemarnya dilaporkan meluas ke kalangan kelas-menengah dan elite. Contohnya, sebuah artikel di majalah berita Tempo pada 1991 memaklumkan bahwa dangdut diam-diam telah meningkat status sosialnya, karena dangdut saat ini populer di kalangan "para pejabat, dari menteri sampai wakil gubernur-dan tak mustahil masih banyak yang lain". Tokoh -tokoh penting Orde Baru yang terlibat dalam dangdut, antara lain, Basofi Sudirman (Wakil Gubernur DKI Jakarta dan Ketua DPD Golkar Jakarta) yang membuat rekaman lagu "Tidak Semua Laki-Laki" pada 1992; Siti Hardiyanti Rukmana (putri sulung Soeharto), pemegang saham terbesar stasiun televisi TPI yang memelopori penayangan dangdut; B.J. Habibie, Menteri Negara Riset dan Teknologi; dan Moerdiono, Menteri Sekretaris Negara. Di Koran Orde Baru, Pos Kota, Habibie dan Moerdiono diberitakan berjoget dangdut dalam kampanye Golkar pada Mei 1992. Dengan semakin dekatnya pemilu 1992, pejabat tinggi pemerintah dan militer mendaulat dangdut sebagai musik nasional Indonesia. Pada 1990-an, koran-koran dan tabloid-tabloid melaporkan berita tentang semakin meluasnya daya tarik dangdut, bukan saja di kalangan orang-orang dari berbagai kelas, tapi juga beragam etnis.

Anggapan bahwa dangdut mewakili semua warga Indonesia, beserta popularitas besar-besaran dangdut, menjadi cerita lumrah yang dituturkan di media cetak populer pada awal 1990-an. Ceritanya kira-kira demikian: dinyanyikan dengan lirik yang dapat dipahami oleh hampir semua orang Indonesia, mengungkapkan perasaan yang bisa dihayati semua orang, dan dimainkan dengan hentakan irama yang dapat dipakai berjoget oleh semua orang, wajar kalau dangdut menjadi ikon bangsa ini. Akibatnya, representasi dan makna dangdut berubah dari musik orang biasa di lapisan terbawah pada sistem sosial dan politik, menjadi genre yang dirayakan sebagai musik nasional pada 1990-an. Namun, dengan penasbihannya sebagai musik nasional, dangdut mendapatkan definisi yang dipaksakan oleh pemerintah. Dangdut nasional adalah (1) mendatangkan profit (meskipun hanya bagi sebagian pihak); (2) diatur melalui sensor pemerintah dan organisasi kebudayaan resmi; (3) Jakarta-sentris tapi berjangkauan internasional; (4) bercitra glamor; dan (5) terhormat dan halus menurut standar kelas-menengah dan kelas-atas.

Citra seperti inilah yang diusung oleh stasiun televisi swasta yang ada berkat deregulasi industri pertelevisian pada akhir 1980-an sehingga mendorong keragaman program dan prioritas pada acara hiburan. Karena, berlawanan dengan jaringan televisi milik pemerintah, televisi komersial melayani selera popular dimana rating menentukan semua keputusan perihal acara televisi. Dangdut, suatu bentuk komersial hiburan populer, tumbuh subur dalam kondisi kultural dan ekonomi ini. Pada awal 1990-an, pemirsa lama dangdut mulai menonton lebih banyak televisi, dan stasiun-stasiun televisi swasta melayani tumbuhnya pasar dari konsumen potensial produk-produk yang diiklankan dalam acara dangdut di televisi. Pelopornya adalah stasiun Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). RCTI, stasiun televisi swasta lainnya yang semula tidak mau menyiarkan dangdut, segera menyusul masuk barisan. Tayangan dangdut, termasuk video musik, kuis, acara komedi, dan kontes, menjamur pada 1990-an. Pasar untuk dangdut meluas di luar pementasan langsung (yang penontonnya kebanyakan laki-laki) ke pertunjukan televisi yang ditonton kaum hawa di rumah. Dangdut memperpanjang jangkauannya ke ruang keluarga kelas-menengah, dan genre musik ini mulai menghapus citra "kampungan" yang tadinya melekat padanya. Para produser mulai menyemaikan jajaran baru penyanyi glamor era 1990-an, antara lain Evie Tamala, lis Dahlia, Ikke Nurjanah, dan Cici Paramida. Bintang-bintang ini tergolong penyanyi kelas nasional dan mewakili bentuk dangdut yang sudah ditinggikan martabatnya. Pergeseran dalam geografi sosial ini, yang ditandai oleh popularitas dangdut di kalangan laki-laki dan perempuan, massa dan kelas-menengah, menempatkan dangdut pada posisi sosial yang kuat.

Dangdut terus memperluas pasar hingga bahkan ke mancanegara. Menurut tabloid Nova edisi April 1991, "Kopi Dangdut" menduduki urutan keempat album terpopuler di Jepang, yang menunjukkan kekuatan pasar global dangdut, dan menjulangkan kebanggaan nasional kepada musik ini di dalam negeri. Kesuksesan dangdut dalam mencapai pasar internasional juga semakin meyakinkan  masyarakat kelas menengah-keatas bahwa dangdut memiliki nilai sosial.

Sebagai komoditi, dangdut dapat dipasarkan ke mancanegara dan dipakai dalam kampanye pariwisata dan slogan iklan. Dan sebagai simbol bangsa, dangdut bisa digunakan untuk mengintegrasikan khalayak dangdut ke dalam formasi nasional. Tapi agar dangdut dapat memenuhi tujuan ini, musik dangdut dan asosiasinya harus dirombak. Dangdut harus menghilangkan citra "kampungan" sehingga citra dan cerita terkait dangdut menjadi semakinjauh dari kehidupan rakyat banyak. Gambar dan cerita tentang kehidupan glamor selebriti dangdut membanjiri pasar tabloid. Bintang-bintang dangdut ditunjukkan tampil di studio televisi yang gemerlap atau panggung konser spektakuler; mengenakan jeans dan baju sport di rumah sambil menikmati waktu senggang yang melimpah bersama keluarga; atau naik mobil mahal, memakai busana bermerek, dan duduk-duduk di kafe bersama sesama selebriti. Pada acara "Anugerah Dangdut 97" terlihat para selebriti melenggang di atas karpet merah dalam gaun malam dan setelan yang dipesan dari perancang busana. Nilai-nilai "generasi baru" ini kontras dengan kehidupan mayoritas penggemar dangdut yang tidak glamor, biasa-biasa, dan makin susah. Hal ini menarik karena terlihat bahwa ketika dangdut diduga mulai dirangkul oleh semua orang, mayoritas masyarakat justru kian jauh dari representasi.

Retorika baru penyatuan ini bertentangan dengan pesan-pesan yang ditampilkan oleh teks-teks sosial di media massa. Akibatnya, mayoritas masyarakat, yang tidak dapat mengidentikkan diri dengan gaya hidup yang direpresentasikan dalam teks-teks ini, terpaksa menempati posisi di luar representasi-representasi tersebut. Sehingga ketika institusi kebudayaan tersebut runtuh, masyarakat yang menempati posisi di luar representasi-representasi yang dianjurkan oleh institusi tersebut dengan mudah membentuk makna baru yang bertentangan dengan makna yang dulunya dianjurkan. Makna baru ini kemudian hadir dari sebuah goyangan yang mampu menggoyang kemapanan institusi pemerintah dan agama yang selama ini sentral di dalam pengaturan masyarakat. Goyangan itu lahir dari pertunjukkan dangdut yang energetik di Jawa Timur dan karena gerakannya goyangan tersebut dinamakan Goyang Ngebor.

e.    Goyang Inul dan Revolusi Dangdut II
Pada Februari 2003, tubuh seorang perempuan menjadi titik-api perdebatan publik tentang otoritas agama, kebebasan berekspresi, hak-hak perempuan, dan masa depan kepemimpinan politik Indonesia. Fokus perdebatan-perdebatan ini adalah Inul Daratista, 24 tahun, penyanyijpenari musik aliran pop asal Jawa Timur, yang tariannya dituding "porno", dan oleh karenanya dianggap haram, dilarang agama Islam. Bahkan dalam aksi demo di Jakarta, demonstran meneriakkan "Goyang ngebor, iman bocor", slogan yang mencerminkan hubungan sebab-akibat antara melambungnya Inul dan merosotnya keimanan religius. Berbagai pernyataan publik oleh ulama MUI, ormas Islam dan Rhoma Irama, memicu perdebatan ramai di media cetak popular di kalangan politisi, pemuka agama, feminis, intelektual, selebriti, dan penggemar. Wacana seputar tubuh menari Inul berperan bagai penangkal petir yang memercikkan bunga api perdebatan populer tentang gender, kelas, agama, dan kekuasaan. Inul membangkitkan wacana sosial di mana praktik artistik seorang penyanyi/penari digunakan sebagai forum untuk mengungkapkan pendapat tentang sederetan luas isu sosial dan budaya. Sulit memikirkan simbol kultural yang memicu perdebatan yang lebih ramai dan berapi-api, posisi-posisi yang lebih pro dan kontra, di tengah spektrum luas masyarakat Indonesia pada awal 2003, daripada goyang maut Inul.

Sebagai medan produksi kultural, politik tubuh menegaskan tubuh manusia sebagai simbol yang digenangi makna-makna dan nilai-nilai yang saling beradu. Sebagai rumusan teoretis, politik tubuh melibatkan kepentingan-kepentingan ideologis. Namun seperti semua rumusan teoretis yang bagus, kita perlu melokalisir studi kasus yang memungkinkan kita untuk menyusun teori, menantangnya, dan akhirnya memperkuat politik kita di sekitar teori itu. Perdebatan mengenai tubuh Inul menarik untuk ditelaah karena perdebatan ini memungkinkan Islam, gender, politik tubuh, dan tubuh seorang perempuan, dikelompokkan menjadi satu dalam imajinasi populer pada momen historis tertentu. Perdebatan ini terjadi pada sebuah atmosfer pasca runtuhnya Orde Baru dan awal bangkitnya demokrasi di Indonesia. Sehingga upaya mencekal Inul pada tahun 2003 terlihat bagian dari sisa-sisa budaya sensor Orde Baru yang dijalankan oleh organisasi-organisasi Islam konservatif. Reaksi multifaset besar-besaran terhadap berbagai kekuatan mirip-Orde Baru itu muncul di jagat-media yang berekspansi selepas turunnya Soeharto dari singgasana kekuasaan. Sehingga, fenomena sikap "pro-ngebor" dimungkinkan di negeri berpenduduk mayoritas muslim yang memiliki sejarah panjang kontrol ketat negara atas produksi kultural dan media massa. Dalam konteks ini, tubuh Inul menjadi panggung bagi aneka aktor budaya-dari yang paling liberal sampai yang paling konservatif-untuk menjajal atau "berlatih" demokrasi yang bersemi di Indonesia pasca-Soeharto.

Wacana gender di dalam dangdut telah hadir sejak awal kelahirannya namun baru menjadi perdebatan yang besar di dalam dangdut sejak kehadiran Elvy Sukaesih. Dari sisi lirik, lagu-lagunya juga membicarakan derita perempuan dalam hubungan antarmanusia dan biasanya dalam kebanyakan lagunya, biasanya lakilaki adalah pihak yang membuat masalah, dan perempuan menjadi pihak yang menderita. Dari sisi pertunjukkan, tubuhnya yang sintal dan suaranya yang mendesah telah menjadi daya tarik sendiri bagi sang artis. Selain itu, dangdut sebagai budaya populer selalu mempertontonkan ekses dimana sang penyanyi selalu terbalut busana panggung ketat, berkilat dan merangsang seperti terlihat pada gaya pementasan Elvy Sukaesih dalam video lagu "Gula-gula". Karena penampilan seperti itu, perempuan dalam dangdut selalu dipandang dalam kerangka seksualitas yang mengacu pada fantasi laki-laki. Maka wajar jika perkembangan pendangdut perempuan mencapai kesimpulannya pada Inul Darasista dan goyangan “ngebor”.

Kehadiran Inul – seorang penghibur lokal di Jawa Timur – dalam wacana nasional dimungkinkan oleh hadirnya teknologi baru untuk merekam video musik dan cara baru dalam proses distribusinya. Dangdut, selain ditayangkan di stasiun televisi nasional, juga menikmati popularitas regional dengan tampil di resepsi pernikahan, khitanan, dan hajatan-hajatan lain yang diselenggarakan oleh individu atau kelompok komunitas. Pada pertengahan sampai akhir 1990-an, sebagian pertunjukan dangdut ini direkam orang dengan kamera video. Pembuatan rekaman video ini sering dilakukan atas pesanan tuan rumah yang menyelenggarakan hajatan, dengan tujuan untuk dijual sesudah pertunjukan usai. Rekaman video ini kemudian disunting dan ditransfer ke cakram VCD. Pasar VCD berkembang dengan diperkenalkannya mesin pemutar VCD murah, yang dapat dibeli dengan harga sekitar Rp 200 ribu di toko-toko elektronik di Indonesia. VCD beredar luas sebagai rekaman komersial tidak resmi di luar ekonomi komersial musik rekaman yang diatur negara. Berbeda dengan kaset yang hanya menampilkan suara, VCD mampu menghadirkan visual sehingga VCD dangdut menekankan goyang pinggul, dan tubuh menari Inul sangat cocok dengan medium ini. Penjualan dan distribusi VCD ini melambungkan popularitas Inul, walaupun ia belum pernah membuat rekaman bersama perusahaan rekaman komersial besar di Indonesia. Dilaporkan bahwa beberapa juta keping VCD Inul telah terjual sebelum ia ditawari kontrak rekaman. Pada 1993, stasiun televisi nasional TransTV cabang Surabaya menyiarkan salah satu penampilan Inul ketika berpentas di depan khalayak pe nonton lokal. Setelah melihat reaksi positif penonton terhadap penampilan Inul di stasiun televisi lokal ini, produser membawa dia ke studio untuk merekam dan menyiarkan pementasannya di stasiun-stasiun televisi di Jakarta.

Respon tentang Inul berkisar pada perdebatan moral masyarakat Indonesia yang memiliki akar keislaman dengan aturan moral yang ajek namun juga telah bersentuhan dengan moral barat yang lebih menekankan kepada kebebasan yang bertanggung jawab. Dalam menanggapi Inul, tidak ada sikap tunggal umat Islam, sebagaimana tidak ada kesatuan sikap umat Islam terhadap berbagai isu lain, seperti boleh tidaknya perempuan menjadi presiden, atau soal penerapan syariat Islam. Kelompok Islam moderat dan liberal cenderung mendukung Inul, sementara kelompok Islam garis keras cenderung bersikap menentangnya. Namun posisi-posisi ideologis ini lambat-laun terkristalkan dalam respons terhadap sikap yang bertentangan, dan dalam konteks politik pada masa itu. Organisasi Islam yang paling lantang kecamannya terhadap Inul adalah MUI. Inul dihujat dengan fatwa nomor U-287 tentang pornografi. Selain melarang perzinahan, fatwa U -287 mengharamkan perempuan terlihat bagian-bagian tubuhnya di depan umum kecuali wajah, telapak tangan, dan telapak kaki. Fatwa ini juga mengharamkan perempuan memakai pakaian ketat yang dapat memperlihatkan lekuk tubuh, menggunakan kosmetika, dan mengeluarkan suara maupun ucapan yang dapat membangkitkan nafsu birahi laki-laki. Bagi kalangan muslim yang lebih liberal, melihat pencekalan Inul sebagai sisa-sisa atmosfer otoritarianisme dan patriarki Orde Baru. Perdebatan terus berkembang menjadi perdebatan gender dengan Rhoma Irama menggaungkan sikap organisasi- organisasi Islam di Indonesia yang secara tradisional menentang bentuk-bentuk kultural erotis perempuan, yang merajalela di seantero Jawa dan Sumatra. Bentuk-bentuk kultural ini dipandang berbahaya karena seksualitasnya yang terang-terangan dirasakan dapat menyesatkan laki-laki, menghancurkan rumah tangga, dan mengakibatkan perkelahian atau kadang-kadang bahkan pembunuhan. Kelompok pembela hak-hak perempuan menolak anggapan bahwa kasus Inul adalah kasus eksploitasi, komodifikasi, degradasi, atau viktimisasi perempuan. Komnas Perempuan juga mencatat bahwa bukan Inul, melainkan ketidakmampuan sistem hukum dalam melindungi perempuanlah yang meningkatkan terjadinya perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan.

Salah satu unsur yang mengakibatkan pencekalan Inul adalah ketidaksesuaian Inul dengan konstruksi gender mengenai perempuan. Dalam kerangka gender, perempuan dikonstruksikan dalam kerangka keluarga dimana konstruksi perempuan adalah makhluk yang pasif dan menuruti suami. Seorang istri yang baik memendam penderitaan batin, menjunjung tugas dan keluarga di atas kepentingan pribadinya, menekan keinginannya sendiri demi keluarga, dan mempertahankan keutuhan segalanya. Citra panggung Inul sangat bertolak belakang dengan citra ini. Citra panggung Inul adalah citra yang liar, yang memamerkan seksualitas perempuan, dengan gerakan pinggul yang cepat dan dinamis. Wajar jika kalangan tradisional yang cenderung patriarkis menolak Inul dengan keras. Banyak cara untuk menafsir Inul sehingga banyak argument dan perdebatan di sekitar Inul. Namun satu hal yang bisa disimpulakan adalaha pada pusat debat ini, Inul menangkap momen historis, dan tampil merepresentasikan posisi yang bertentangan dengan otoritarianisme Orde Baru dan kepemimpinan Islam konservatif, yang tumbuh dengan mantap di bawah Orde Baru. Tetapi, baru sesudah jatuhnya Orde Baru, dalam iklim kebebasan berekspresi yang didorong media baru, ia tampil memainkan peran utama.

Terdapat dua dampak yang penting dari perdebatan tentang Inul. Pertama, Inul memulai genre dangdut yang mengedepankan seksualitas erotik dari tubuh perempuan. Setelah goyang ngebor populer, jenis goyang lain – mulai dari goyang patah-patah milik Anisa Bahar, goyang gergaji milik Dewi Persik, hingga goyang ngecor Uut Permatasari – juga ikut terkenal. Kedua, wacana Inul telah menggeser otoritas di Indonesia yang bersifat monolitis dan sentral menjadi otoritas yang lebih tersebar dan demokratis. Dari perdebatan goyang ngebor, kita bisa melihat bahwa di era pasca Orde Baru, bukan hanya institusi sentral seperti MUI atau Departemen Penerangan yang bisa memberikan opini yang menjadi acuan di dalam masyarakat. Dampak ini kemudian mendorong perkembangan dangdut ke perkembangan kedaerahan yang selama ini dibungkam oleh konstruksi Bhineka Tunggal Ika milik Orde Baru.

Selain dangdut “nasional” yang sering dihadirkan di televisi, dangdut juga kaya akan khazanah lokal, contohnya saluang dangdut Minang, pong-dut Sunda, tarling Cirebon, koplo Jawa, dan dangdut Banjar. Selain itu, dangdut juga mulai mendapatkan gabungan dari musik-musik seperti Techno, House, Disco, Hip Hop, dan lain-lain. Dangdut ini sudah beredar di masyarakat melalui penjualan VCD yang sudah dijelaskan di atas namun baru masuk ke media nasional setelah tahun 2000an. Salah satu contoh artis dangdut yang sukses dalam menasionalkan dangdut daerah adalah Trio Macan. Grup ini adalah grup musik yang lahir dari panggung-panggung Jawa Timur sehingga menghasilkan gaya dan musikalitas koplo yang khas. Cara-cara baru dalam pertunjukan, promosi, dan distribusi, membuka bah baru dalam sejarah dangdut. Berdasarkan praktikpraktik pelokalan yang tersebar luas di banyak daerah di Indonesia, dangdut menjadi musik nasional de facto Indonesia. Jika model Orde Baru untuk menjadi nasional adalah "go international", model musik nasional pasca-Orde Baru adalah "go local". Bukan karena memancar secara alami dari satu sumber kultural (Melayu), atau memberlakukan wacana kesamaan yang digalakkan pemerintah pusat, tetapi karena menjamurnya ragamragam etnokultural daerah yang makin banyak, dangdut kemudian menjadi musik nasional de facto Indonesia, dengan tiap-tiap ragamnya yang mencerminkan realitas sosioekonomi dan kepentingan kultural yang berbeda-beda. Sehingga akhirnya, kita bisa ber-Bhineka Tunggal Ika dengan baik dan benar melalui dangdut.

III.    Dangdut dalam Perspektif Kekinian
Bagian ini merupakan bagian yang mencoba untuk menjadi sebuah kesimpulan dari sebuah cerita tentang dangdut yang masih berlangsung hingga saat ini. Dari penjabaran panjang mengenai dangdut di atas, sebuah pertanyaan masih harus dijawab: Di era sekarang ini, dimana pilihan musik hampir tanpa batas, apakah dangdut masih relevan untuk dikaji? Secara singkat, jawabannya adalah kajian tentang dangdut tidak hanya relevan tapi juga wajib untuk dilakukan. Hal ini berkaitan dengan pandangan William Frederick yang melihat dangdut sebagai sebuah prisma yang berguna untuk melihat kondisi masyarakat kita. Dangdut, sebagai sebuah jenis musik populer dan seni rakyat yang telah ada sejak tahun 1950an telah menjadi corong masyarakat yang mampu mentransformasi kondisi-kondisi masyarakat menjadi lagu – dari yang terdengar remeh, seperti punya pacar tetangga, hingga yang memiliki pesan moral, seperti pesan-pesan dalam lagu-lagu Rhoma Irama. Melalui pengkajian lagu dangdut, kondisi sosial masyarakat Indonesia bisa terlihat dengan jelas, mulai dari hubungan antargender, hubungan antarkelas, hingga perilaku konsumsi masyarakat Indonesia. Pengkajian musik dangdut pada dasarnya adalah sebuah upaya pembacaan barometer sosial masyarakat Indonesia yang dinamikanya terus berkembang.



  Akhir kata, penulis menyadari tulisan ini memiliki banyak kesalahan karena keterbatasan penulis. Akan tetapi, penulis tidak memungkiri adanya kebenaran yang terkandung di dalam tulisan ini. Untuk itu, penulis mengajak pembaca sekalian untuk terus belajar, berdiskusi, dan bertukar pikiran untuk terus mengembangkan tulisan ini hingga mencapai kebenaran yang tertinggi.

  



DAFTAR PUSTAKA

·   Frederick, William H. “Rhoma Irama And The Dangdut Style: Aspects Of Contemporary Indonesian Popular Culture.” Indonesia, 1982: 102-130.
·    Strinati, Dominic. Popular Culture : Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Penerbit Ar Ruzz Medi, n.d.
·    Weintraub, Andrew. Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia. Translated by Arif Bagus Prasetyo. Kepustakaan Populer Gramedia, 2012.



No comments:

Post a Comment