Tulisan ini disajikan dalam Forum Kebudayaan Indonesia di ITB. Tulisan ini lebih merupakan ringkasan buku yang ditulis oleh Andrew Weintraub berjudul Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia's Most Popular Music yang kemudian diterjemahkan menjadi Dangdut: Musik, ldentitas, dan Budaya Indonesia oleh Arif Bagus Prasetyo dan diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia.
Oleh: Mirza Adrian NP
Banyak
orang yang berkata bahwa dangdut adalah musik yang tidak pantas untuk dikaji,
bahkan mendengarkan musik dangdut di kelas social tertentu adalah tindakan yang
memalukan. Dangdut selalu dipandang sebagai musik yang kacangan, katro, norak, kampungan, ndeso, dan selalu dipandang
sebelah mata oleh kelas menengah ke atas dalam posisinya sebagai musik populer
Indonesia. Namun, Dangdut, sebagai sebuah musik populer yang mampu menembus
berbagai macam lapisan masyarakat, bisa menjadi sebuah prisma yang berguna
untuk melihat kondisi masyarakat kita, melebihi musik pop, rock, atau jazz.
Sehingga, kajian mengenai dangdut pada dasarnya adalah sebuah upaya untuk
melihat paradigma masyarakat Indonesia secara mendalam dari sudut pandang yang
lebih santai. Tulisan ini akan menjabarkan cerita perkembangan Dangdut yang
diambil dari buku Andrew Weintraub berjudul Dangdut:
Musik, ldentitas, dan Budaya Indonesia dan akhirnya mencoba untuk mejawab
pertanyaan: Di era sekarang ini, dimana pilihan musik hampir tanpa batas,
apakah dangdut masih relevan untuk dikaji?
I.
Awal mula Dangdut
Dangdut memulai perjalanannya dari
Orkes Melayu yang berkembang di Indonesia di awal tahun 1950an. Perkembangan
ini dimulai dari era setelah kemerdekaan 1945, para musisi mengusung
sensibilitas kreatif baru ke dalam orkes Melayu, khususnya di kawasan urban Medan,
Jakarta, dan Surabaya. Selain memainkan musik hibrida, ensambel di Jakarta dan
Surabaya mengambil melodi film India dan menggubah melodi baru berdasarkan
melodi itu dan memuluskan jalan bagi kemunculan dangdut. Dekade 1950-an
mewakili saling pengaruh multikultural yang mendalam antara bunyi Melayu, Arab,
India, Amerika Latin, dan Eropa yang beredar dalam musik populer. Grup-grup
orkes ini kemudian berkembang berdasarkan lokalitasnya masing-masing. orkes
Melayu di Jakarta mulai membawakan lagu-lagu film India dan menggunakan cengkok
vokal India pada awal 1950-an, sementara penyanyi orkes Melayu di Medan, tidak
membawakan jenis lagu ini dan orkes Melayu di Surabaya memperdengarkan bunyi yang
lebih bernuansa Timur Tengah. Dari percampuran inilah kemudian irama-irama
dangdut mulai terbentuk.
Perkembangan ini kemudian diperbesar
dengan kebijakan politik Sukarno yang mengecam budaya-budaya Barat. Pada saat
itu, Grup-grup musik populer yang namanya keinggris-inggrisan dipaksa berganti
nama Indonesia untuk menghilangkan pengaruh musik Amerika. Namun, karena sentimen
persaudaraan antara koloni, Sukarno membuka pintu untuk musik populer dari
India dan Timur Tengah. Ia mengizinkan impor film (musikal) dari India pada
1950-1964. Hal ini berdampak besar terhadap perkembangan industri hiburan di
Indonesia. Proses-proses "menerjemahkan lagu" dari India yang terjadi
pada saat itu membentuk genre proto-dangdut pada periode itu. Sehingga dangdut kemudian
tercipta sebagai dialog global antar-budaya, di mana musik populer India, Timur
Tengah, Eropa, dan Amerika Serikat diapropriasi, diterjemahkan, ditransformasi,
dan diaduk dengan sensibilitas lokal Indonesia di pusat urban Jakarta dan
Surabaya dekade 1950-an dan 1960-an.
Di pusat-pusat urban pada saat itu, film
India membawa sesuatu yang baru dan menggairahkan bagi khalayak Indonesia dekade
1950-an. Film India membawa sebuah keceriaan yang khas dengan musik dan tarian
yang selalu hadir di setiap filmnya. Kehadiran ini kemudian disambut oleh para
musisi Indonesia yang di awal 1960-an para komponis Indonesia mulai menciptakan
lagu-lagu yang diilhami lagu film India, dan juga mengadaptasi lirik Indonesia
dengan melodi lagu film India. Perbuatan ini meletakkan landasan untuk dangdut,
meski nama genre musik ini (dangdut) baru muncul satu dekade kemudian. Penyanyi
dan komponis Ellya Khadam, menjadi salah satu primadona pada era ini. Dalam
penampilannya bernyanyi, Ellya Khadam mengenakan busana India dan berusaha menyamai
tarian dan mimik wajah bintang film India. Ellya adalah komponis yang sangat
produktif. Lagu ciptaannya di antaranya "Termenung", "Kau Pergi
Tanpa Pesan", "Pengertian", "Djanji", dan
"Mengharap". Musik film Hindi merupakan mata-air bagi banyak lagunya
yang paling terkenal, termasuk "Boneka dari India" dan
"Termenung".
Barangkali unsur paling khas dari
prototipe dangdut awal seperti "Djanji" adalah pola ritmik yang
dimainkan dengan gendang kapsul, gendang membran ganda berukuran sedang yang
bunyinya mendekati tabla yang terdengar dalam lagu film India. Di Indonesia,
irama pengiring ini disebut "chalte" atau "calte". Ada lima
suku kata utama gendang yang membentuk pola dasar Chalte. Tiga sukukata
gendang-"dang", "duut", dan "dut"-dihasilkan pada
membran besar gendang oleh tangan kiri penggendang. Sementara sukukata gendang
"tak" dan "tung" dihasilkan pada membran kecil gendang oleh
tangan kanan penggendang. Pada akhir 1960-an, orkes Melayu Purnama (O.M.
Purnama) memelopori perubahan dari memakai gendang kapsul ke satu set dua gendang
kecil yang kelak menjadi gendang dangdut.
Selain musik India, musik Timur
Tengah juga memainkan peran dalam kelahiran dangdut. Di Surabaya, Orkes Melayu
lebih condong ke bunyi Timur Tengah. Aransemen-aransemen orkestralnya
mencerminkan pengaruh kental Timur Tengah, khususnya Mesir dan Lebanon.
Penyanyi dan komponisnya khususnya terpengaruh penyanyi Mesir. Salah satu
kelompok yang terkenal adalah Orkes Melayu Sinar Kemala. Sinar Kemala tampil
dengan busana modern Barat: anggota laki-laki mengenakan setelan Barat, dan
penyanyi perempuan bergaun anggun. OM Sinar Kemala juga sering melantunkan tema
keislaman dan kata-kata Arab; contohnya, "Keagungan Tuhan",
"Perintah Ilahi", "Insjaflah". Nama-nama penyanyinya juga mencerminkan
orientasi Timur Tengah, antara lain Nurkumala, Nur A'in, Latifah, dan Ida
Laila. Bagian vokal yang sangat bercengkok menunjukkan kemiripan dengan gaya
seni baca Al-Quran.
Dari OM Sinar Kemala, lahir penyanyi
A. Rafiq yang lagu-lagunya menandai perpindahan dari proto-dangdut menjadi
dangdut yang kita ketahui sekarang. Ada beberapa elemen penting yang dibawa oleh
A. Rafiq ke dalam music dangdut. Pertama, A. Rafiq memboyong elemen fisik dan
visual dramatik ke dangdut. Dia juga memadukan gerakan dari film India, silat
Cina, tari Melayu (zapin), dan rock 'n'
roll Amerika. Sehingga menghasilkan goyang pinggul dan gaya kostum mencolok
ke dangdut bersama celana panjang cutbrai khas yang dikenal sebagai "celana
A. Rafiq". Bersama gerakan, tingkah-polah, aksi panggung, dan kostumnya yang
mirip Elvis, A. Rafiq menyanyikan dan menciptakan lagu-lagu yang kental dengan
melodi India. Contohnya, "Pandangan Pertama" didasari lagu
"Cheda Mere Dil Ne" dalam film Asli Nagli, yang dinyanyikan oleh Dev
Anand di tahun 1962. Namun hit terbesarnya, "Pengalaman Pertama",
adalah ciptaannya sendiri yang dilandasi ikhtiar "mengawinkan berbagai-macam
gaya".
Pada tahun 1960an, dangdut sudah
hadir sebagai sebuah genre tersendiri di tanah air. Namun di tahun 1970an,
dangdut mengalami persaingan ketat dengan terutama masuknya unsur-unsur rock
dari Amerika Serikat dan Britania Raya, serta munculnya budaya kaset yang
berpengaruh sangat besar. Dangdut masih harus bersaing di dalam pasar sebagai kekuatan
dominan dalam musik populer Indonesia. Perkembangan dangdut selanjutnya berkaitan
erat dengan kebijakan politik Orde Baru yang pro terhadap pengaruh luar dan
sentimen agama yang dibawa oleh masyarakat muslim Indonesia.
II.
Berenang di Dalam Arus
a.
Perkembangan Dangdut Hingga
Pertengahan Tahun 1970-an
Kudeta Soeharto pada tahun 1966
membukakan Indonesia terhadap ekspansi industri yang tiada henti, kapitalisme
gaya Barat, komodifikasi intensif, dan budaya konsumerisme. Berkat teknologi
elektronik baru, musik berbentuk rekaman kaset dapat menjangkau daerah-daerah
yang jauh dari pusat-pusat produksi di perkotaan. Berbagai bentuk promosi
inovatif – film, papan reklame, dan majalah – menumbuhkan minat terhadap
kehidupan sosial para penghibur dan selebriti. Cara-cara baru dalam menampilkan
musik di konser, festival, dan pekan raya yang terbuka untuk umum di kota-kota
besar telah memasyarakatkan ragam-ragam musik rock dan musik pop yang baru
muncul. Etos baru konsumerisme di Indonesia telah memberikan motivasi, dan juga
sumber daya, kepada lebih banyak orang untuk membeli berbagai produk komersial
yang berkaitan dengan musik popular. Pada atmosfer seperti inilah dangdut harus
bersaing dengan musik-musik populer lainnya.
Akan tetapi, dalam persaingan ini,
dangdut memiliki kelebihan. Anggapan tentang dangdut sebagai musik
"rakyat" muncul di era ini, dan semenjak itu menjadi tema yang tak
pernah pudar. Pada 1970an, kalangan pendengar dangdut menempati lapisan bawah
dalam struktur politik dan ekonomi, serta digambarkan dalam berbagai artikel
majalah dan koran pada masa itu sebagai: "rakyat kecil", "rakyat
jelata ", "golongan bawah", "kaum marginal",
"pinggiran", dan "kelas menengah ke bawah". Berbeda dengan
musik-musik jazz, rock, atau pop dengan gaya vokal semanis madu, tempo pelan
dan sepi humor serta tidak memiliki akar historis atau ciri musikal yang
mengaitkannya dengan derita rakyat, dangdut tumbuh secara alami dari kondisi
sosial-ekonomi dan kultural konsumennya, dan
merepresentasikan kepentingan, selera, dan aspirasi mereka. Faktor ini
menyebabkan Dangdut dapat berkembang di lingkungan-lingkungan urban yang
terpinggirkan secara sosial dan ekonomi pada akhir 1960-an dan awal 1970-an,
termasuk Bangunrejo (Surabaya), Sunan Kuning (Semarang), dan Planet Senen
(Jakarta).
Cerita-cerita mengenai
asal-mula nama "dangdut" berhubungan secara langsung dengan akar
musik ini di kalangan masyarakat bawah. Editor majalah musik Aktuil konon memunculkan istilah
"dangdut" sebagai label penghinaan untuk pola irama rancak gendang
khas musik ini yang berbunyi "dang-dut". Kata ini sebenarnya memiliki
unsur cemooh kelompok menengah ke atas atau kelompok “gedongan” kepada musik “kampung”
ini. Dangdut menyimbolkan massa "di luar sana" sementara pembaca
koran dan majalah dari kalangan kelas-menengah dan elite memosisikan diri dalam
perbandingan dengan khalayak kelas bawah dangdut. Massa yang menjadi khalayak
dangdut umumnya dibayangkan secara negatif sebagai tidak berpendidikan, bodoh,
dan irasional. Mereka dipandang tidak mampu bertindak bersama-sama secara
terorganisir. Mereka tidak bertindak, melainkan ditindak: dijadikan objek yang
bisa dibaca-baca di media cetak populer. Ketika mereka betul-betul menjadi
aktif, di konser, misalnya, mereka dituduh susah diatur dan beringas. Dengan
mengatakan kata “Dangdut”, kaum ‘gedongan’ mencemooh suara gendang yang dominan
dalam orkes Melayu, mereka tidak bisa menerima cengkok India penyanyi dangdut,
kenorakan dandanan dangdut, atau etiket konsernya. Penyanyi dangdut perempuan
diolok-olok karena memakai rok mini dan sepatu bot setinggi lutut. Bagi kaum
‘gedongan’ pada masa itu, musik adalah sesuatu yang harus didengarkan dan
diapresiasi bunyinya. Namun cemoohan ini kemudian diadopsi menjadi sebuah tanda
definisi-diri yang positif oleh para musisi dangdut.
Nama "dangdut" kemudian
beredar luas melalui radio pada tahun 1973-1974 berkat jasa Bung Mangkudilaga,
penyiar radio yang giat mempromosikan dangdut di Radio Agustina melalui acara
radio "Sop Dangdut", tajuk yang mencerminkan kualitas merakyat musik
dangdut dan campuran unsur-unsur pembentuknya yang beraneka rnacam seperti sop.
Stasiun-stasiun radio kemudian melirik pasar konsumen urban yang sedang tumbuh
ini. Kepopuleran dangdut kemudian mulai tumbuh hingga pada 1975 dangdut
menguasai 75% dari seluruh musik rekaman, yang diproduksi oleh para pencetak
hit pop terdahulu, seperti Koes Plus, D'Lloyd, dan Bimbo. Namun, puncak
kepopuleran dangdut dicapai melalui pertunjukan seorang anak muda yang
berbakat, gelisah, brilian, dan kharismatik bernama Rhoma Irama yang telah
mengubah industri musik ini pada pertengahan 1970an.
b.
Rhoma Irama dan Revolusi Dangdut I
Kehadiran Rhoma Irama meratakan
jalan bagi dangdut untuk menjadi musik terpopuler Indonesia. Ia membawa
perubahan ke dalam dangdut dari segi musikalitas dan lirik sehingga dangdut
mampu menjadi musik yang mampu diterima semua kalangan, baik gedongan maupun
kampungan, dan menjadi salah satu wahana untuk membentuk gagasan-gagasan moral
dan politik rakyat. Secara lirik, Rhoma Irama mampu memasukkan unsur Islam dan
melokalkan unsur tersebut di dalam lagu-lagunya sehingga membawakan Islam yang
lebih mudah dijangkau oleh berbagai kalangan. Dari 307 lagu Rhoma Irama, 150
lagu menyampaikan wejangan mengenai apa artinya menjadi manusia yang berbudi
luhur, dan pesan ini terbagi menjadi kategori-kategori berikut: akhlak, dengan
tekanan religious yang kuat (57 lagu); akhlak, tanpa menyebut agama secara
eksplisit (29 lagu); dan cinta serta hubungan antara laki-laki dan perempuan
(20 lagu). Selain itu, lagu-lagu dalam kategori-kategori berikut ini mengandung
amanat, tapi tidak dinyatakan secara eksplisit: masyarakat dan politik (24 lagu);
dan kehidupan sehari-hari (20 lagu). Pemasukan unsur Islam ini disukai oleh masyarakat
Indonesia yang mayoritas Muslim dan pesan-pesan moral yang terkandung di dalam
lagu-lagu Rhoma Irama menjadikan dangdut sebagai wahana populer untuk membentuk
gagasan-gagasan moral dan politik rakyat.
Selain lirik, Rhoma Irama juga
mengubah unsur musikalitas dangdut yang awalnya hanya berkiblat pada unsur
musik melayu dan arab menjadi sebuah musik yang mencampurkan unsur-unsur musik
dari Barat, seperti rock ‘n’ roll dan
hard metal. Rhoma Irama sendiri mengaku bahwa unsur
musiknya dipengaruhi oleh band-band seperti Deep Purple, Rolling Stones, dan
Led Zeppelin. Pengaruh ini dapat dilihat dari teknik bernyanyi seperti Elvis
yang bergetar atau Tom Jones yang melakukan pematahan frase dengan beralih
secara cepat ke falsetto yang bisa didengar pada lagu-lagu seperti Darah Muda, Kelana, atau Cuma Kamu. Unsur-unsur rock lainnya termasuk
interupsi penghentian waktu normal (stop
time), frase-frase lagu yang bersahutan (call and response), permainan solo gitar listrik, dan tema lirik
yang melantunkan sikap bebas dari tanggung jawab khas anak muda sering didengar
pada lagu-lagu Rhoma Irama. Unsur rock juga masuk ke dalam tata panggung dan
koreografi Rhoma Irama. Tata panggung konser Rhoma Irama didesain untuk
menyaingi konser rock pada saat itu dengan cahaya lampu warna-warni yang
bergebyaran, patung-patung megah tampak di latar belakang panggung, asap
bergulung-gulung dari mesin penyembur asap, dan kembang api meledak di pentas,
juga pesan-pesan dituliskan dengan cahaya gemerlap. Penggunaan unsur-unsur ini
melambungkan dangdut yang dianggap sudah ketinggalan zaman, berlirik kuno dan
murahan serta memiliki syair lagu yang tidak mendidik.
Selain sebagai penyanyi, Rhoma Irama
juga menjadi aktor di lebih dari 20 film. Ini merupakan hal baru di dalam dunia
dangdut dimana seorang artis menggunakan teknologi baru dan jaringan distribusi
massal untuk menyokong perkembangan dangdut. Film dan televisi berperan sentral
dalam konstruksi selebriti perdangdutan karena film dipasarkan bersama rekaman
musik popular sehingga musik yang dipasarkan mendapatkan konteks yang bisa
diingat oleh masyarakat luas. Selain itu, film juga penting karena film mampu
menghubungkan antara artis dan penggemarnya. Melalui lensa kamera, pemirsa memasuki
hubungan yang akrab tapi sangat berjarak dengan bintang-bintang dangdut.
Lembaga-lembaga komersial rekaman musik, radio, televisi, dan media cetak
populer, membantu mengonstruksi "ilusi keakraban" antara selebriti dan
khalayak anonim. Melalui keakraban ini, penggemar dangdut bisa
mengidentifikasikan sang artis sebagai bagian dari diri mereka. Melalui
kisah-kisah sukses lintas-kelas di mana pecundang akhirnya tampil menjadi
pemenang, penggemar bisa mendapatkan pengalaman pribadi yang lebih langsung dengannya
daripada menonton konser, di mana ada penghalang dan panggung tinggi yang
memisahkan. Proses ini membuat mempopulerkan dangdut lebih jauh lagi karena
proses ini mampu untuk menyentuh kalangan menengah ke atas yang pada awalnya
melakukan penolakan terhadap dangdut. Kesuksesan Rhoma Irama dalam industri
hiburan merangsang perkembangan bentuk-bentuk musikal baru dan makna-makna baru
dalam dangdut, serta menstimulasi kemunculan bintang-bintang baru, dan ekspansi
industri dangdut yang terus memperkuat identitas musikalnya sebagai “darah,
jiwa dan suara rakyat”.
c.
Menjadi Lambang Rakyat
Popularitas dangdut mulai melejit
pada pertengahan sampai akhir 1970-an, menyusul sukses komersial berbagai
rekaman musik, konser, dan film Rhoma Irama sehingga industri budaya seputar
dangdut mulai terbentuk. Tapi berbeda dari lagu-lagu Rhoma Irama, lirik-lirik
lagu dangdut yang beredar tersebut tidak mengungkapkan pesan didaktik atau
religius. Sejumlah besar teks lagu dangdut melukiskan duka dan derita, umumnya
akibat kegagalan hubungan, impitan ekonomi, ketidakadilan sosial, dan hancurnya
harapan. Bukan menawarkan nasihat tentang bagaimana mengatasi masalah, atau
menghadapi kesulitan dengan kebesaran jiwa (sebagaimana dalam lagu-lagu Rhoma
Irama), lirik-lirik itu melantunkan fatalisme, kerelaan, dan idealism dengan
teks-teks yang meratap. Dengan kombinasi dari lirik yang meratap, irama joget
yang rancak, dan gaya pementasan norak, Dangdut menjadi musik untuk bergoyang
dan bersenang-senang di kelab hiburan malam, bar, dan diskotek.
Dangdut merepresentasikan
"tontonan ekses" linguistik dan visual yang mengeksploitasi
gestur-gestur berlebihan hingga ke batas maknanya. Para pendangdut menjajal tapal-batas
dari apa yang dapat diungkapkan dan kisah apa yang bisa disampaikan di ranah publik
dengan mempergunakan kepekaan teatrikal yang kental, busana, dan gerak, untuk
mengungkapkan emosi. Sebagaimana tontonan gulat yang diungkapkan oleh Barthes,
dangdut memuat citra-citra yang "diisikan sampai meluap" dan menyejajarkan
unsur-unsur yang terkesan bertentangan, terutama teks-teks dukalara dan konteks-konteks
kenikmatan badani. Namun, berbeda dengan "cahaya tanpa bayangan"
Barthes yang menggulirkan makna ke sebuah kesimpulan logis, dangdut membeberkan
kemungkinan-kemungkinan dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan. Lagu-lagu
dangdut dipenuhi berbagai bayangan, wilayah abu-abu, dan tafsir majemuk yang
menjadi salah satu daya tarik dangdut. Tontonan ekses di dalam dangdut dapat
dilihat pada lirik lagu-lagu hit dekade 1980-an yang banyak mengungkapkan
perasaan menderita, sengsara, dan merana namun dibalut dalam irama joget yang
menyenangkan. Dalam lagu-lagu tersebut, penderitaan muncul dalam berbagai
bentuk: kegagalan hubungan, impitan ekonomi, ketidakadilan sosial, dan kejamnya
kondisi sosial dalam kehidupan modern sehari-hari namun lagu-lagu tersebut
tetap diputar dan dinikmati orang dalam upaya mereka untuk melepas penat.
Hanya dengan meletakkan bunyi musik,
teks dan pertunjukan dalam konteks komersialnya, kita dapat memahami makna
simbolis dangdut pada periode ini. Pada akhir 1970-an dan awal sampai
pertengahan 1980-an, dangdut mengisi pangsa pasar sebagai bentuk utama musik tari
populer yang dibesarkan media massa. Bahkan, para penyanyi pop mulai menyeberang
ke dangdut, termasuk penyanyi "rock murni" Ahmad Albar, vokalis God
Bless, dan penyanyi pop Titi Qadarsih yang tadinya "antidangdut".
Salah satu penyanyi yang memberikan
nafas baru kepada dangdut pada era ini adalah Camelia Malik. Penyanyi ini
membentuk grup musik Tarantula yang menyanyikan lagu popular dengan judul
“Colak-colek”. Lagu "Colak-colek" menandai era baru dangdut pop yang mengawinkan
frase-frase melodik pendek yang mengena, salsa, rock dan disko, dengan irama
dangdut (pola-pola berbasis India dan Timur Tengah) dan instrumen dangdut
(suling dan gendang). Di samping itu, Tarantula menambahkan sitar India, alat
musik yang berkonotasi musik film India maupun rock Inggris dekade 1960-an.
Lagu ini memikat khalayak muda, khususnya kalangan kelas menengah-ke-atas yang
baru muncul karena lagu ini mengumandangkan bunyi musik pop Indonesia. Berlawanan
dengan vokal yang sangat bercengkok dalam orkes Melayu), vokal Camelia Malik
nyaris tanpa cengkok. Warna vokalnya halus, berbeda dari vokal tipis Ellya
Khadam atau warna vocal Elvy Sukaesih yang sangat bertekstur. Selain itu, Camelia
Malik mengusung visualitas jenis baru ke dalam dangdut. Dalam berbagai
pementasan sejak akhir 1970-an, ia menampilkan gerak tari kreasi baru dari tari
jaipongan Sunda yang dimodernkan. Tidak seperti joget bebas yang umumnya
dipakai dalam dangdut, jaipongan dan ragam-ragam tari lainnya harus dipelajari
secara formal, sehingga aksi panggung Camelia Malik menjadi berbeda dari penyanyi-penyanyi
dangdut lainnya. Ragam tari "sekolahan" ini juga menandakan
"kelas", karena, menurut Camelia Malik, bukan "hanya membutuhkan
tenaga, sama melenturkan sebagian tubuh untuk menggoyangkan pinggul dan perut.
Naik turun, naik turun. Tapi kalau jaipongan, ada aturannya, ada pakemnya, ada
galeongnya, ada pundak, ada pinggul, jadi nggak mungkin saya berpikir hanya
memperlihatkan keseksiannya. Itu tarian yang dipelajari. Bukan sekadar
goyang-goyang".
Namun, pada saat itu, suara
perempuan yang paling berpengaruh dalam industri rekaman dangdut adalah milik
Elvy Sukaesih, Sang Ratu Dangdut. Sesungguhnya, Elvy Sukaesih dianggap sebagai
pewaris gaya bernyanyi bercengkok India seperti Ellya Khadam. Namun setelah ia
mengembangkan gayanya sendiri pada akhir 1970-an, dan khususnya pada 1980-an, kualitas
vokalnya menjadi sangat bertekstur, berdesah, dan dicirikan oleh rentang teknik
vokal yang luas. Lirik lagu dan gaya pementasannya menjadi lebih seksual. Ciri
khas yang dapat dilihat dalam lagunya “Mandi Madu”. Penyampaian yang
mendesah-desah, cengkok vokal yang meliuk-liuk, penggelinciran nada menurun
disertai helaan napas panjang, dan seruan-seruan vokal yang panas, mengisi
ruang musikal seakan-akan satu melodi yang berkesinambungan. Kesan mengisi
ruang musikal ini menunjukkan gairah dan gelora perasaan. Suatu penegasan nafsu
dan keberdayaan perempuan – sebuah wacana yang sepertinya sudah menjadi bagian
inheren dari dangdut.
Tontonan ekses pada dangdut membuat
dangdut terkena sensor oleh Orde baru hingga tahun 1990an. Pola sensor negara
ini mengilustrasikan pengonstruksian khalayak dangdut sebagai objek wacana Orde
Baru, yang diinstruksikan dari-atas-ke-bawah (topdown), tentang seni dan budaya
pada dekade 1980-an, yang dicirikan oleh pengaturan dan pengawasan. Pendekatan
top-down terhadap kebudayaan dilaksanakan dalam media lainnya, terutama
jaringan televisi negara, TVRI. TVRI membidik kalangan yang menonton
televisi-golongan masyarakat kelas menengah dan elite, bukan mayoritas
masyarakat-dan membuat program sesuai keinginan penonton. Namun, tidak dapat
dipungkiri bahwa dangdut memiliki jumlah penggemar yang besar sehingga kondisi
Dangdut bisa menjadi barometer sosial masyarakat Indonesia karena lirik dangdut
berisi keterusterangan atau kejujuran pengungkapan yang sulit ditemui dalam jenis
musik lainnya di Indonesia. Dangdut, sebagai sebuah bentuk budaya populer
mempunyai kekuatan politik yang kuat dan berakar di masyarakat kelas bawah.
Fakta inilah yang akhirnya membuat pemerintah Order Baru melirik dangdut
sebagai alat propaganda hingga akhirnya di tahun 1990-an di berbagai konser
yang disponsori pemerintah, di media cetak populer dan pidato di televisi,
dangdut digembargemborkan sebagai musik semua warga Indonesia.
d.
Dangdut dan Pencarian Kebudayaan
Nasional
Di tahun 1990-an, musik dangdut yang
tadinya diasosiasikan dengan kaum kelas-bawah kini penggemarnya dilaporkan
meluas ke kalangan kelas-menengah dan elite. Contohnya, sebuah artikel di
majalah berita Tempo pada 1991 memaklumkan bahwa dangdut diam-diam telah
meningkat status sosialnya, karena dangdut saat ini populer di kalangan
"para pejabat, dari menteri sampai wakil gubernur-dan tak mustahil masih
banyak yang lain". Tokoh -tokoh penting Orde Baru yang terlibat dalam
dangdut, antara lain, Basofi Sudirman (Wakil Gubernur DKI Jakarta dan Ketua DPD
Golkar Jakarta) yang membuat rekaman lagu "Tidak Semua Laki-Laki"
pada 1992; Siti Hardiyanti Rukmana (putri sulung Soeharto), pemegang saham
terbesar stasiun televisi TPI yang memelopori penayangan dangdut; B.J. Habibie,
Menteri Negara Riset dan Teknologi; dan Moerdiono, Menteri Sekretaris Negara.
Di Koran Orde Baru, Pos Kota, Habibie dan Moerdiono diberitakan berjoget dangdut
dalam kampanye Golkar pada Mei 1992. Dengan semakin dekatnya pemilu 1992,
pejabat tinggi pemerintah dan militer mendaulat dangdut sebagai musik nasional
Indonesia. Pada 1990-an, koran-koran dan tabloid-tabloid melaporkan berita
tentang semakin meluasnya daya tarik dangdut, bukan saja di kalangan
orang-orang dari berbagai kelas, tapi juga beragam etnis.
Anggapan bahwa dangdut mewakili
semua warga Indonesia, beserta popularitas besar-besaran dangdut, menjadi
cerita lumrah yang dituturkan di media cetak populer pada awal 1990-an.
Ceritanya kira-kira demikian: dinyanyikan dengan lirik yang dapat dipahami oleh
hampir semua orang Indonesia, mengungkapkan perasaan yang bisa dihayati semua
orang, dan dimainkan dengan hentakan irama yang dapat dipakai berjoget oleh
semua orang, wajar kalau dangdut menjadi ikon bangsa ini. Akibatnya,
representasi dan makna dangdut berubah dari musik orang biasa di lapisan
terbawah pada sistem sosial dan politik, menjadi genre yang dirayakan sebagai
musik nasional pada 1990-an. Namun, dengan penasbihannya sebagai musik
nasional, dangdut mendapatkan definisi yang dipaksakan oleh pemerintah. Dangdut
nasional adalah (1) mendatangkan profit (meskipun hanya bagi sebagian pihak);
(2) diatur melalui sensor pemerintah dan organisasi kebudayaan resmi; (3)
Jakarta-sentris tapi berjangkauan internasional; (4) bercitra glamor; dan (5)
terhormat dan halus menurut standar kelas-menengah dan kelas-atas.
Citra seperti inilah yang diusung
oleh stasiun televisi swasta yang ada berkat deregulasi industri pertelevisian pada
akhir 1980-an sehingga mendorong keragaman program dan prioritas pada acara
hiburan. Karena, berlawanan dengan jaringan televisi milik pemerintah, televisi
komersial melayani selera popular dimana rating menentukan semua keputusan
perihal acara televisi. Dangdut, suatu bentuk komersial hiburan populer, tumbuh
subur dalam kondisi kultural dan ekonomi ini. Pada awal 1990-an, pemirsa lama
dangdut mulai menonton lebih banyak televisi, dan stasiun-stasiun televisi
swasta melayani tumbuhnya pasar dari konsumen potensial produk-produk yang diiklankan
dalam acara dangdut di televisi. Pelopornya adalah stasiun Televisi Pendidikan
Indonesia (TPI). RCTI, stasiun televisi swasta lainnya yang semula tidak mau menyiarkan
dangdut, segera menyusul masuk barisan. Tayangan dangdut, termasuk video musik,
kuis, acara komedi, dan kontes, menjamur pada 1990-an. Pasar untuk dangdut
meluas di luar pementasan langsung (yang penontonnya kebanyakan laki-laki) ke
pertunjukan televisi yang ditonton kaum hawa di rumah. Dangdut memperpanjang jangkauannya
ke ruang keluarga kelas-menengah, dan genre musik ini mulai menghapus citra
"kampungan" yang tadinya melekat padanya. Para produser mulai
menyemaikan jajaran baru penyanyi glamor era 1990-an, antara lain Evie Tamala,
lis Dahlia, Ikke Nurjanah, dan Cici Paramida. Bintang-bintang ini tergolong
penyanyi kelas nasional dan mewakili bentuk dangdut yang sudah ditinggikan martabatnya.
Pergeseran dalam geografi sosial ini, yang ditandai oleh popularitas dangdut di
kalangan laki-laki dan perempuan, massa dan kelas-menengah, menempatkan dangdut
pada posisi sosial yang kuat.
Dangdut terus memperluas pasar
hingga bahkan ke mancanegara. Menurut tabloid Nova edisi April 1991, "Kopi
Dangdut" menduduki urutan keempat album terpopuler di Jepang, yang
menunjukkan kekuatan pasar global dangdut, dan menjulangkan kebanggaan nasional
kepada musik ini di dalam negeri. Kesuksesan dangdut dalam mencapai pasar
internasional juga semakin meyakinkan masyarakat
kelas menengah-keatas bahwa dangdut memiliki nilai sosial.
Sebagai komoditi, dangdut dapat
dipasarkan ke mancanegara dan dipakai dalam kampanye pariwisata dan slogan
iklan. Dan sebagai simbol bangsa, dangdut bisa digunakan untuk mengintegrasikan
khalayak dangdut ke dalam formasi nasional. Tapi agar dangdut dapat memenuhi
tujuan ini, musik dangdut dan asosiasinya harus dirombak. Dangdut harus
menghilangkan citra "kampungan" sehingga citra dan cerita terkait dangdut
menjadi semakinjauh dari kehidupan rakyat banyak. Gambar dan cerita tentang
kehidupan glamor selebriti dangdut membanjiri pasar tabloid. Bintang-bintang
dangdut ditunjukkan tampil di studio televisi yang gemerlap atau panggung
konser spektakuler; mengenakan jeans dan baju sport di rumah sambil menikmati
waktu senggang yang melimpah bersama keluarga; atau naik mobil mahal, memakai
busana bermerek, dan duduk-duduk di kafe bersama sesama selebriti. Pada acara "Anugerah
Dangdut 97" terlihat para selebriti melenggang di atas karpet merah dalam
gaun malam dan setelan yang dipesan dari perancang busana. Nilai-nilai "generasi
baru" ini kontras dengan kehidupan mayoritas penggemar dangdut yang tidak
glamor, biasa-biasa, dan makin susah. Hal ini menarik karena terlihat bahwa ketika
dangdut diduga mulai dirangkul oleh semua orang, mayoritas masyarakat justru
kian jauh dari representasi.
Retorika baru penyatuan ini
bertentangan dengan pesan-pesan yang ditampilkan oleh teks-teks sosial di media
massa. Akibatnya, mayoritas masyarakat, yang tidak dapat mengidentikkan diri
dengan gaya hidup yang direpresentasikan dalam teks-teks ini, terpaksa menempati
posisi di luar representasi-representasi tersebut. Sehingga ketika institusi kebudayaan
tersebut runtuh, masyarakat yang menempati posisi di luar
representasi-representasi yang dianjurkan oleh institusi tersebut dengan mudah
membentuk makna baru yang bertentangan dengan makna yang dulunya dianjurkan. Makna
baru ini kemudian hadir dari sebuah goyangan yang mampu menggoyang kemapanan
institusi pemerintah dan agama yang selama ini sentral di dalam pengaturan
masyarakat. Goyangan itu lahir dari pertunjukkan dangdut yang energetik di Jawa
Timur dan karena gerakannya goyangan tersebut dinamakan Goyang Ngebor.
e.
Goyang Inul dan Revolusi Dangdut II
Pada Februari 2003, tubuh seorang
perempuan menjadi titik-api perdebatan publik tentang otoritas agama, kebebasan
berekspresi, hak-hak perempuan, dan masa depan kepemimpinan politik Indonesia. Fokus
perdebatan-perdebatan ini adalah Inul Daratista, 24 tahun, penyanyijpenari
musik aliran pop asal Jawa Timur, yang tariannya dituding "porno",
dan oleh karenanya dianggap haram, dilarang agama Islam. Bahkan dalam aksi demo
di Jakarta, demonstran meneriakkan "Goyang ngebor, iman bocor",
slogan yang mencerminkan hubungan sebab-akibat antara melambungnya Inul dan
merosotnya keimanan religius. Berbagai pernyataan publik oleh ulama MUI, ormas
Islam dan Rhoma Irama, memicu perdebatan ramai di media cetak popular di kalangan
politisi, pemuka agama, feminis, intelektual, selebriti, dan penggemar. Wacana
seputar tubuh menari Inul berperan bagai penangkal petir yang memercikkan bunga
api perdebatan populer tentang gender, kelas, agama, dan kekuasaan. Inul membangkitkan
wacana sosial di mana praktik artistik seorang penyanyi/penari digunakan
sebagai forum untuk mengungkapkan pendapat tentang sederetan luas isu sosial
dan budaya. Sulit memikirkan simbol kultural yang memicu perdebatan yang lebih
ramai dan berapi-api, posisi-posisi yang lebih pro dan kontra, di tengah spektrum
luas masyarakat Indonesia pada awal 2003, daripada goyang maut Inul.
Sebagai medan produksi kultural,
politik tubuh menegaskan tubuh manusia sebagai simbol yang digenangi
makna-makna dan nilai-nilai yang saling beradu. Sebagai rumusan teoretis,
politik tubuh melibatkan kepentingan-kepentingan ideologis. Namun seperti semua
rumusan teoretis yang bagus, kita perlu melokalisir studi kasus yang
memungkinkan kita untuk menyusun teori, menantangnya, dan akhirnya memperkuat
politik kita di sekitar teori itu. Perdebatan mengenai tubuh Inul menarik untuk
ditelaah karena perdebatan ini memungkinkan Islam, gender, politik tubuh, dan
tubuh seorang perempuan, dikelompokkan menjadi satu dalam imajinasi populer pada
momen historis tertentu. Perdebatan ini terjadi pada sebuah atmosfer pasca
runtuhnya Orde Baru dan awal bangkitnya demokrasi di Indonesia. Sehingga upaya
mencekal Inul pada tahun 2003 terlihat bagian dari sisa-sisa budaya sensor Orde
Baru yang dijalankan oleh organisasi-organisasi Islam konservatif. Reaksi
multifaset besar-besaran terhadap berbagai kekuatan mirip-Orde Baru itu muncul di
jagat-media yang berekspansi selepas turunnya Soeharto dari singgasana
kekuasaan. Sehingga, fenomena sikap "pro-ngebor" dimungkinkan di
negeri berpenduduk mayoritas muslim yang memiliki sejarah panjang kontrol ketat
negara atas produksi kultural dan media massa. Dalam konteks ini, tubuh Inul
menjadi panggung bagi aneka aktor budaya-dari yang paling liberal sampai yang
paling konservatif-untuk menjajal atau "berlatih" demokrasi yang
bersemi di Indonesia pasca-Soeharto.
Wacana gender di dalam dangdut telah
hadir sejak awal kelahirannya namun baru menjadi perdebatan yang besar di dalam
dangdut sejak kehadiran Elvy Sukaesih. Dari sisi lirik, lagu-lagunya juga
membicarakan derita perempuan dalam hubungan antarmanusia dan biasanya dalam
kebanyakan lagunya, biasanya lakilaki adalah pihak yang membuat masalah, dan
perempuan menjadi pihak yang menderita. Dari sisi pertunjukkan, tubuhnya yang
sintal dan suaranya yang mendesah telah menjadi daya tarik sendiri bagi sang
artis. Selain itu, dangdut sebagai budaya populer selalu mempertontonkan ekses
dimana sang penyanyi selalu terbalut busana panggung ketat, berkilat dan
merangsang seperti terlihat pada gaya pementasan Elvy Sukaesih dalam video lagu
"Gula-gula". Karena penampilan seperti itu, perempuan dalam dangdut
selalu dipandang dalam kerangka seksualitas yang mengacu pada fantasi
laki-laki. Maka wajar jika perkembangan pendangdut perempuan mencapai
kesimpulannya pada Inul Darasista dan goyangan “ngebor”.
Kehadiran Inul – seorang penghibur
lokal di Jawa Timur – dalam wacana nasional dimungkinkan oleh hadirnya
teknologi baru untuk merekam video musik dan cara baru dalam proses
distribusinya. Dangdut, selain ditayangkan di stasiun televisi nasional, juga menikmati
popularitas regional dengan tampil di resepsi pernikahan, khitanan, dan
hajatan-hajatan lain yang diselenggarakan oleh individu atau kelompok komunitas.
Pada pertengahan sampai akhir 1990-an, sebagian pertunjukan dangdut ini direkam
orang dengan kamera video. Pembuatan rekaman video ini sering dilakukan atas
pesanan tuan rumah yang menyelenggarakan hajatan, dengan tujuan untuk dijual sesudah
pertunjukan usai. Rekaman video ini kemudian disunting dan ditransfer ke cakram
VCD. Pasar VCD berkembang dengan diperkenalkannya mesin pemutar VCD murah, yang
dapat dibeli dengan harga sekitar Rp 200 ribu di toko-toko elektronik di Indonesia.
VCD beredar luas sebagai rekaman komersial tidak resmi di luar ekonomi
komersial musik rekaman yang diatur negara. Berbeda dengan kaset yang hanya
menampilkan suara, VCD mampu menghadirkan visual sehingga VCD dangdut
menekankan goyang pinggul, dan tubuh menari Inul sangat cocok dengan medium
ini. Penjualan dan distribusi VCD ini melambungkan popularitas Inul, walaupun
ia belum pernah membuat rekaman bersama perusahaan rekaman komersial besar di Indonesia.
Dilaporkan bahwa beberapa juta keping VCD Inul telah terjual sebelum ia
ditawari kontrak rekaman. Pada 1993, stasiun televisi nasional TransTV cabang
Surabaya menyiarkan salah satu penampilan Inul ketika berpentas di depan
khalayak pe nonton lokal. Setelah melihat reaksi positif penonton terhadap
penampilan Inul di stasiun televisi lokal ini, produser membawa dia ke studio untuk
merekam dan menyiarkan pementasannya di stasiun-stasiun televisi di Jakarta.
Respon tentang Inul berkisar pada
perdebatan moral masyarakat Indonesia yang memiliki akar keislaman dengan
aturan moral yang ajek namun juga telah bersentuhan dengan moral barat yang lebih
menekankan kepada kebebasan yang bertanggung jawab. Dalam menanggapi Inul, tidak
ada sikap tunggal umat Islam, sebagaimana tidak ada kesatuan sikap umat Islam terhadap
berbagai isu lain, seperti boleh tidaknya perempuan menjadi presiden, atau soal
penerapan syariat Islam. Kelompok Islam moderat dan liberal cenderung mendukung
Inul, sementara kelompok Islam garis keras cenderung bersikap menentangnya. Namun
posisi-posisi ideologis ini lambat-laun terkristalkan dalam respons terhadap
sikap yang bertentangan, dan dalam konteks politik pada masa itu. Organisasi Islam
yang paling lantang kecamannya terhadap Inul adalah MUI. Inul dihujat dengan
fatwa nomor U-287 tentang pornografi. Selain melarang perzinahan, fatwa U -287
mengharamkan perempuan terlihat bagian-bagian tubuhnya di depan umum kecuali
wajah, telapak tangan, dan telapak kaki. Fatwa ini juga mengharamkan perempuan memakai
pakaian ketat yang dapat memperlihatkan lekuk tubuh, menggunakan kosmetika, dan
mengeluarkan suara maupun ucapan yang dapat membangkitkan nafsu birahi
laki-laki. Bagi kalangan muslim yang lebih liberal, melihat pencekalan Inul
sebagai sisa-sisa atmosfer otoritarianisme dan patriarki Orde Baru. Perdebatan
terus berkembang menjadi perdebatan gender dengan Rhoma Irama menggaungkan
sikap organisasi- organisasi Islam di Indonesia yang secara tradisional
menentang bentuk-bentuk kultural erotis perempuan, yang merajalela di seantero Jawa
dan Sumatra. Bentuk-bentuk kultural ini dipandang berbahaya karena seksualitasnya
yang terang-terangan dirasakan dapat menyesatkan laki-laki, menghancurkan rumah
tangga, dan mengakibatkan perkelahian atau kadang-kadang bahkan pembunuhan. Kelompok
pembela hak-hak perempuan menolak anggapan bahwa kasus Inul adalah kasus eksploitasi,
komodifikasi, degradasi, atau viktimisasi perempuan. Komnas Perempuan juga
mencatat bahwa bukan Inul, melainkan ketidakmampuan sistem hukum dalam
melindungi perempuanlah yang meningkatkan terjadinya perkosaan dan kekerasan
terhadap perempuan.
Salah satu unsur yang mengakibatkan
pencekalan Inul adalah ketidaksesuaian Inul dengan konstruksi gender mengenai
perempuan. Dalam kerangka gender, perempuan dikonstruksikan dalam kerangka
keluarga dimana konstruksi perempuan adalah makhluk yang pasif dan menuruti
suami. Seorang istri yang baik memendam penderitaan batin, menjunjung tugas dan
keluarga di atas kepentingan pribadinya, menekan keinginannya sendiri demi
keluarga, dan mempertahankan keutuhan segalanya. Citra panggung Inul sangat
bertolak belakang dengan citra ini. Citra panggung Inul adalah citra yang liar,
yang memamerkan seksualitas perempuan, dengan gerakan pinggul yang cepat dan
dinamis. Wajar jika kalangan tradisional yang cenderung patriarkis menolak Inul
dengan keras. Banyak cara untuk menafsir Inul sehingga banyak argument dan
perdebatan di sekitar Inul. Namun satu hal yang bisa disimpulakan adalaha pada
pusat debat ini, Inul menangkap momen historis, dan tampil merepresentasikan posisi
yang bertentangan dengan otoritarianisme Orde Baru dan kepemimpinan Islam
konservatif, yang tumbuh dengan mantap di bawah Orde Baru. Tetapi, baru sesudah
jatuhnya Orde Baru, dalam iklim kebebasan berekspresi yang didorong media baru,
ia tampil memainkan peran utama.
Terdapat dua dampak yang penting
dari perdebatan tentang Inul. Pertama, Inul memulai genre dangdut yang mengedepankan
seksualitas erotik dari tubuh perempuan. Setelah goyang ngebor populer, jenis
goyang lain – mulai dari goyang patah-patah milik Anisa Bahar, goyang gergaji
milik Dewi Persik, hingga goyang ngecor Uut Permatasari – juga ikut terkenal. Kedua,
wacana Inul telah menggeser otoritas di Indonesia yang bersifat monolitis dan sentral
menjadi otoritas yang lebih tersebar dan demokratis. Dari perdebatan goyang
ngebor, kita bisa melihat bahwa di era pasca Orde Baru, bukan hanya institusi
sentral seperti MUI atau Departemen Penerangan yang bisa memberikan opini yang
menjadi acuan di dalam masyarakat. Dampak ini kemudian mendorong perkembangan
dangdut ke perkembangan kedaerahan yang selama ini dibungkam oleh konstruksi
Bhineka Tunggal Ika milik Orde Baru.
Selain dangdut “nasional” yang
sering dihadirkan di televisi, dangdut juga kaya akan khazanah lokal, contohnya
saluang dangdut Minang, pong-dut Sunda, tarling Cirebon, koplo Jawa, dan dangdut
Banjar. Selain itu, dangdut juga mulai mendapatkan gabungan dari musik-musik
seperti Techno, House, Disco, Hip Hop, dan lain-lain. Dangdut ini sudah beredar
di masyarakat melalui penjualan VCD yang sudah dijelaskan di atas namun baru
masuk ke media nasional setelah tahun 2000an. Salah satu contoh artis dangdut
yang sukses dalam menasionalkan dangdut daerah adalah Trio Macan. Grup ini
adalah grup musik yang lahir dari panggung-panggung Jawa Timur sehingga
menghasilkan gaya dan musikalitas koplo yang khas. Cara-cara baru dalam
pertunjukan, promosi, dan distribusi, membuka bah baru dalam sejarah dangdut.
Berdasarkan praktikpraktik pelokalan yang tersebar luas di banyak daerah di
Indonesia, dangdut menjadi musik nasional de
facto Indonesia. Jika model Orde Baru untuk menjadi nasional adalah "go international", model musik
nasional pasca-Orde Baru adalah "go
local". Bukan karena memancar secara alami dari satu sumber kultural
(Melayu), atau memberlakukan wacana kesamaan yang digalakkan pemerintah pusat,
tetapi karena menjamurnya ragamragam etnokultural daerah yang makin banyak,
dangdut kemudian menjadi musik nasional de facto Indonesia, dengan tiap-tiap
ragamnya yang mencerminkan realitas sosioekonomi dan kepentingan kultural yang
berbeda-beda. Sehingga akhirnya, kita bisa ber-Bhineka Tunggal Ika dengan baik
dan benar melalui dangdut.
III.
Dangdut dalam Perspektif Kekinian
Bagian ini merupakan bagian yang
mencoba untuk menjadi sebuah kesimpulan dari sebuah cerita tentang dangdut yang
masih berlangsung hingga saat ini. Dari penjabaran panjang mengenai dangdut di
atas, sebuah pertanyaan masih harus dijawab: Di era sekarang ini, dimana
pilihan musik hampir tanpa batas, apakah dangdut masih relevan untuk dikaji? Secara
singkat, jawabannya adalah kajian tentang dangdut tidak hanya relevan tapi juga
wajib untuk dilakukan. Hal ini berkaitan dengan pandangan William Frederick
yang melihat dangdut sebagai sebuah prisma yang berguna untuk melihat kondisi
masyarakat kita. Dangdut, sebagai sebuah jenis musik populer dan seni rakyat yang
telah ada sejak tahun 1950an telah menjadi corong masyarakat yang mampu mentransformasi
kondisi-kondisi masyarakat menjadi lagu – dari yang terdengar remeh, seperti
punya pacar tetangga, hingga yang memiliki pesan moral, seperti pesan-pesan
dalam lagu-lagu Rhoma Irama. Melalui pengkajian lagu dangdut, kondisi sosial
masyarakat Indonesia bisa terlihat dengan jelas, mulai dari hubungan
antargender, hubungan antarkelas, hingga perilaku konsumsi masyarakat
Indonesia. Pengkajian musik dangdut pada dasarnya adalah sebuah upaya pembacaan
barometer sosial masyarakat Indonesia yang dinamikanya terus berkembang.
Akhir kata, penulis
menyadari tulisan ini memiliki banyak kesalahan karena keterbatasan penulis.
Akan tetapi, penulis tidak memungkiri adanya kebenaran yang terkandung di dalam
tulisan ini. Untuk itu, penulis mengajak pembaca sekalian untuk terus belajar, berdiskusi,
dan bertukar pikiran untuk terus mengembangkan tulisan ini hingga mencapai
kebenaran yang tertinggi.
DAFTAR PUSTAKA
· Frederick,
William H. “Rhoma Irama And The Dangdut Style: Aspects Of Contemporary Indonesian Popular Culture.” Indonesia, 1982: 102-130.
· Strinati,
Dominic. Popular Culture : Pengantar Menuju Teori Budaya Populer.
Penerbit Ar Ruzz Medi, n.d.
· Weintraub,
Andrew. Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia. Translated by
Arif Bagus Prasetyo. Kepustakaan Populer Gramedia, 2012.
No comments:
Post a Comment