Oleh: Mirza Adrian NP
Malam. Hening akan terdengar ganjil malam ini karena semesta sedang riuh ricuh menyaksikan drama kematian seorang manusia. Daun dan alang-alang berdesakan maju mencari tempat menonton, sementara angin sengaja terbang mengikuti sang Ajal, menunggu saat yang paling dinantikan. Tak ada awan, tak ada bintang. Langit bagaikan tirai hitam yang ditutup sebagai pertanda babak drama telah usai. Segalanya kelam kecuali purnama yang menjadi lampu sorot. Dengan kilaunya yang terang, disorotinya lakon utama malam itu. Sebuah lakon tentang kematian manusia yang diawali dengan pacuan seorang penunggang kuda yang berbasuh darah dan keringat di sekujur tubuhnya.
Di bawah sana, seekor kuda sedang melaju kencang seakan sedang menebah perut bumi dengan kuku-kuku besinya. Di punggung kuda itu, lutut sang penunggang mengepit kuat-kuat, menahan badannya yang sudah terhuyung ke kanan dan kiri. Dengan pedang berlumuran darah dan luka di sekujur tubuh, si penunggang kuda ini melesat kencang dalam malam yang terang. Tergesa-gesa ia karena hidup dan matinya dipertaruhkan pada laju kudanya.
“Bedebah!” Ucapnya saat melihat ke belakang.
Di belakangnya, menderu segenap pasukan kerajaan mengejar penjahat yang diburu. Dengan terampil, mereka terbangkan anak panah dari atas punggung kuda ke arah langit. Mendadak langit menjadi hitam dan sesaat setelahnya hujan besi tajam turun deras. Sang penjahat berusaha menghindar dari hujan panah dan segera mempercepat pacu langkah kudanya. Tapi sia-sia, tiga anak panah menusuk badannya. Ia pun terguling, jatuh dari kudanya.