Monday 6 June 2011

Cerpen: Balada Terbunuhnya Atmo Karpo

Oleh: Mirza Adrian NP

Malam. Hening akan terdengar ganjil malam ini karena semesta sedang riuh ricuh menyaksikan drama kematian seorang manusia. Daun dan alang-alang berdesakan maju mencari tempat menonton, sementara angin sengaja terbang mengikuti sang Ajal, menunggu saat yang paling dinantikan. Tak ada awan, tak ada bintang. Langit bagaikan tirai hitam yang ditutup sebagai pertanda babak drama telah usai. Segalanya kelam kecuali purnama yang menjadi lampu sorot. Dengan kilaunya yang terang, disorotinya lakon utama malam itu. Sebuah lakon tentang kematian manusia yang diawali dengan pacuan seorang penunggang kuda yang berbasuh darah dan keringat di sekujur tubuhnya.
Di bawah sana, seekor kuda sedang melaju kencang seakan sedang menebah perut bumi dengan kuku-kuku besinya. Di punggung kuda itu, lutut sang penunggang mengepit kuat-kuat, menahan badannya yang sudah terhuyung ke kanan dan kiri. Dengan pedang berlumuran darah dan luka di sekujur tubuh, si penunggang kuda ini melesat kencang dalam malam yang terang. Tergesa-gesa ia karena hidup dan matinya dipertaruhkan pada laju kudanya.
“Bedebah!” Ucapnya saat melihat ke belakang.
Di belakangnya, menderu segenap pasukan kerajaan mengejar penjahat yang diburu. Dengan terampil, mereka terbangkan anak panah dari atas punggung kuda ke arah langit. Mendadak langit menjadi hitam dan sesaat setelahnya hujan besi tajam turun deras. Sang penjahat berusaha menghindar dari hujan panah dan segera mempercepat pacu langkah kudanya. Tapi sia-sia, tiga anak panah menusuk badannya. Ia pun terguling, jatuh dari kudanya.

Cerpen: Maria

Oleh: Mirza Adrian NP


“Ceritakan pada kami kisah tentang kasih sayang” Kata seseorang kepada juru cerita. Maka juru cerita itu menceritakan kisah Maria, pelacur yang terselamatkan:
Jakarta, Di depan sebuah rumah bordil di daerah Hayam Wuruk. Siang itu, Maria diusir dari rumah bordil oleh sang germo. Parasnya sudah tidak cantik, tubuhnya pun sudah tidak sintal. Tak ada lagi yang mau menggunakan tubuhnya. Maria hanya menjadi beban di rumah bordil itu. Dan siang itu dia diusir dari rumah bordil tanpa membawa koper atau barang – tak ada lagi yang ia miliki selain badannya sendiri.
Jam dua belas siang hari, matahari terik di tengah langit – Tak ada angin; tak ada awan. Siang hari di Jakarta adalah waktunya kekejaman dan kesibukan. Waktu manusia menjadi serigala bagi satu lainnya. Waktu untuk kepentingan dan pekerjaan yang memaksa manusia berjuang setiap hari. Dan siang itu, di Jakarta, Maria berjalan menyusuri Pasar Glodok, menembus keramaian orang yang terlalu sibuk untuk memperhatikannya. Siang itu, Matahari menerik dan membakar badannya yang demam. Bibirnya kering kekurangan air dan matanya merah karena debu Ibukota. Maria merasakan cengkraman maut sudah dekat dan Maria berjalan ke sebuah klinik untuk mengharap pertolongan dokter. Dia pergi ke sebuah klinik di pinggir jalan. Saat Maria masuk, semua orang menengok ke arahnya dan menutup hidung mereka dengan reflex. Melihat itu, dihujatnya semua orang, mereka terdiam. Untuk mencegah keributan juru rawat lekas menarik Maria menuju ruang dokter.

Sunday 5 June 2011

How Far Was the Formation of Boedi Oetomo Mark the Beginning of Nationalism in Indonesia?

Mirza Adrian
Every 20th May the people of Indonesia celebrate the National Awakening Day to commemorate the formation of an organisation called Boedi Oetomo in 1908. They commemorate this event because they feel that Boedi Oetomo is the first nationalist organisation in Indonesia and its formation will eventually lead to Indonesian independence in 1945. But is this notion correct? Some people argue that this is correct because Boedi Oetomo was the one of the first organisation that was formed by Indonesian during Dutch colonial rule and its formation will inspire others to form organisations that demand the independence of Indonesia. However, others argue that this was not a nationalist organisation because of its elitist nature and its small span in term of memberships. Although its nationalistic nature is questionable, Boedi Oetomo was the first Indonesian organisation that demands for ending of the suffering of Indonesians that was caused by the colonial government.
Nationalism is a hard term to define. Its elusive nature makes it difficult to analyze when nationalism emerge within a nation. Generally, nationalism can be defined as a feeling of common identity of people within a nation regardless of tribes, religions, or any other local identity. This common identity may be caused by a shared history, culture or language. Indonesia as a nation is united by a common history: Dutch colonialism. The region of Indonesia today is the region that was colonized by the Dutch. The main aim of nationalists is the welfare of their nation; they demand for independence, self-determination, and sovereignty to develop their nation and rid alien rule over their nation. A nationalistic movement, therefore, is a movement that covers the whole of a nation and fight for the welfare of that nation by demanding for independence and self-determination.

Bagaimana Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta Berpengaruh Pada Otoritas Kesultanan Yogyakarta


Oleh: Mirza Adrian NP
Pendahuluan
Di dalam RUU Keistimewaan Daerah Yogyakarta yang marak dibicarakan di media massa baru-baru ini, terdapat sebuah kalimat di bagian penjelasan yang menyatakan bahwa “masyarakat Yogyakarta kini memasuki sebuah fase baru yang ditandai oleh munculnya masyarakat berwajah ganda (dual faces society). Di satu sisi, masyarakat tersusun secara hierarkhis mengikuti pola hubungan patron-client di masa lalu, di sisi yang lain, memiliki corak horizontal yang kuat.” Hal ini menyebabkan bergesernya otoritas kesultanan Yogyakarta dari yang tadinya memiliki otoritas politik, menjadi sebuah badan yang hanya memiliki otoritas budaya dan menjadi ciri khas keistimewaan Provinsi DI Yogyakarta. Akan tetapi, kebenaran dari pernyataan ini masih bisa dipertanyakan.
Apakah perubahan masyarakat di Yogyakarta mempengaruhi otoritas Kesultanan dalam masyarakat Yogyakarta? Di satu sisi, kita tidak bisa memungkiri bahwa perubahan budaya karena globalisasi, modernisasi, dan bahkan nasionalisme telah menggeser posisi Keraton menjadi sekedar penjaga nilai dan budaya masyarakat Yogyakarta. Namun di sisi lain, dapat dilihat bahwa Keraton Yogyakarta tetap mempunyai pengaruh dan otoritas dalam masyarakat Yogyakarta sehingga Keraton masih mempunyai kemampuan untuk menjaga ketertiban masyarakat Yogyakarta melalui hukum dan peraturan karena kedudukannya sebagai pemegang lembaga eksekutif daerah. Esai ini mencoba untuk menelaah bagaimana perubahan masyarakat Yogyakarta mempengaruhi posisi keraton sebagai sumber otoritas di dalam masyarakat itu sendiri.