Monday, 6 June 2011

Cerpen: Maria

Oleh: Mirza Adrian NP


“Ceritakan pada kami kisah tentang kasih sayang” Kata seseorang kepada juru cerita. Maka juru cerita itu menceritakan kisah Maria, pelacur yang terselamatkan:
Jakarta, Di depan sebuah rumah bordil di daerah Hayam Wuruk. Siang itu, Maria diusir dari rumah bordil oleh sang germo. Parasnya sudah tidak cantik, tubuhnya pun sudah tidak sintal. Tak ada lagi yang mau menggunakan tubuhnya. Maria hanya menjadi beban di rumah bordil itu. Dan siang itu dia diusir dari rumah bordil tanpa membawa koper atau barang – tak ada lagi yang ia miliki selain badannya sendiri.
Jam dua belas siang hari, matahari terik di tengah langit – Tak ada angin; tak ada awan. Siang hari di Jakarta adalah waktunya kekejaman dan kesibukan. Waktu manusia menjadi serigala bagi satu lainnya. Waktu untuk kepentingan dan pekerjaan yang memaksa manusia berjuang setiap hari. Dan siang itu, di Jakarta, Maria berjalan menyusuri Pasar Glodok, menembus keramaian orang yang terlalu sibuk untuk memperhatikannya. Siang itu, Matahari menerik dan membakar badannya yang demam. Bibirnya kering kekurangan air dan matanya merah karena debu Ibukota. Maria merasakan cengkraman maut sudah dekat dan Maria berjalan ke sebuah klinik untuk mengharap pertolongan dokter. Dia pergi ke sebuah klinik di pinggir jalan. Saat Maria masuk, semua orang menengok ke arahnya dan menutup hidung mereka dengan reflex. Melihat itu, dihujatnya semua orang, mereka terdiam. Untuk mencegah keributan juru rawat lekas menarik Maria menuju ruang dokter.


Di dalam ruangan dokter, Maria adalah satu-satunya benda yang kotor. Sisanya putih dan higienis, dicuci dengan antibiotik. Sang dokter melihat Maria dengan mata terpicing. “Lagi-lagi dia”, pikirnya.
“Maria, hutangmu sudah banyak padaku,” kata dokter.
“Ya,” jawabnya,
“Sekarang uangmu berapa?”
“Tak ada” Jawabnya lirih.
Seakan tahu akan jawaban Maria, Dokter hanya geleng kepala dan menyuruhnya tidur. Timbul rasa jijik di benaknya sesaat ia akan memeriksanya. Karena perasaan itu, sang dokter tak jadi memeriksa Maria. Ia panggil juru rawat,
ia bisikkan “Ambilkan segera Vitamin C.”
Dengan kaget juru rawat berbisik kembali “Vitamin C? Dokter, paling tidak ia perlu salvarsan!”
“Untuk apa? Ia tak bisa bayar dan lagi sudah jelas ia hampir mati. Kenapa harus dikasih obat mahal yang diimport dari luar negeri?” Ucapnya ketus.
Tanpa argumen lain juru rawat mengambil vitamin C dan dokter segera menyuntik Maria dengan Vitamin C. Tak perlu ia membayar. Cukup dengan segera pergi yang menjadi pembayarannya. Maria tahu ajal sudah dekat dan Maria tahu dokter tidak mau membantu.
Jakarta, masih siang dan masih kejam. Maria berjalan tanpa sepatu. Kakinya melepuh terbakar aspal. Ia tahu ajal dekat dan ia takut. Dirasakannya dosa yang menumpuk di atas pundaknya. Dosa-dosa yang ia koleksi selama ia hidup. Dosa dari setiap perzinahan dengan semua lelaki yang pernah ia layani datang padanya dan menuntut tanggung jawab. Diarahkan langkahnya ke Gereja Sion berharap Tuhan bisa membantunya. Ketika sampai, pintu gereja telah dikunci karena khawatir akan pencuri. Maria menuju pastori dan menekan bel pintu. Koster keluar dan dilihatnya Maria, lusuh dan bau. Ditahannya nafasnya sejenak, kemudian dengan ketus ia berkata:
“Kamu mau apa? Pastor sedang makan siang dan ini bukan jam bicara.”
“Maaf, saya sakit. Ini perlu.” Jawabnya pedih.
“Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu. Aku lihat, apa pastor mau terima kamu.”
Segera koster itu pergi dan mengunci pintu. Pastor masih makan dengan lahapnya.
“Pastor, ada orang di luar ingin mengaku dosa.” Kata koster dengan nada sopan.
“Baiklah, suruh tunggu. Aku masih makan” Jawab sang pastor dengan mulut penuh.
Di luar, Maria menunggu Tuhan sambil blingsatan kepanasan. Kematian semakin dekat dan ia menunggu pertolongan Tuhan datang.
Setelah satu jam, pintu kembali berbunyi dan terbuka. Pastor sudah datang. Pertolongan Tuhan telah tiba. Setelah mengorek sisa makanan dari giginya, sang pastor menyalakan cerutu, lalu bertanya
“Kamu perlu apa?”. Bau anggur dari mulutnya masih kuat.
“Mau mengaku dosa.” Maria menjawabnya
“Tapi ini bukan jam bicara Ini waktu saya untuk berdoa.”
“Saya mau mati. Dosa saya banyak, saya butuh pertolongan Anda.” Ujarnya lirih.
“Kamu sakit?” Tanya sang pastor kaget.
“Ya, saya kena rajasinga.”
Mendengar ini pastor mundur dua langkah. Raut wajahnya berubah menjadi penuh kebencian. Terdiam ia cukup lama. Akhirnya, dengan bingung ia kembali bersuara
“Apa kamu –mm- kupu-kupu malam?”
“Saya pelacur, ya.” Ujar Maria dengan nada lirih tapi tanpa dosa.
“Santo Petrus! Tapi kamu Katolik?”
“Ya”
“Santo Petrus! Kamu telah tergoda dosa!” Ujar pastor dengan kebencian.
“Tidak tergoda, tapi melulu berdosa.”
“Kamu telah terbujuk setan!”
“Tidak! Saya terdesak kemiskinan dan gagal mencari kerja.” Maria berusaha membela. Membela jiwanya yang sebetar lagi akan masuk neraka. Mungkin Tuhan bisa maklum.
“Santo Petrus! Tuhan tak peduli kenapa kamu berdosa!”
“Santo Petrus! Pater dengarkan saya. Saya tak butuh tahu asal-usul dosa saya! Yang nyata hidup saya sudah gagal. Jiwa saya kalut. Dan saya mau mati. Sekarang saya takut sekali. Saya perlu Tuhan, atau apa saja Untuk menemani jiwa saya”. Maria gemetar. Muka pastor menjadi merah padam, Ia menuding Maria,
“Kamu galak seperti macan betina! Barangkali kamu akan gila, tapi tak akan mati. Kamu tak perlu pastor! Kamu perlu dokter jiwa!” Jawab pastor sambil membanting pintu gereja. Mendengar itu, Maria tertunduk lesu. Tangis tak bisa keluar. Tuhan sudah meninggalkannya. Tak ada lagi harapan pengampunan. Neraka adalah kepastian.
Jam tiga siang, matahari tetap menyala – angin dan awan tetap tak ada. Maria lapar dan miskin. Tak ada lagi cara, tak ada lagi malu, Ia berjalan ke belakang satu restoran dan ia kumpulkan sisa makanan dari tong sampah. Ia bungkus hati-hati dengan daun pisang. Siang itu, Maria adalah orang yang kalah dan terhina. Jakarta tidak lagi mempunyai tempat untuknya. Dan ia berjalan ke luar kota.
***
Malam turun di bumi membawa kesejukan. Seakan panggung telah ditutup dan drama telah usai. Maria rebah di pinggir kali. Dilihatnya serangga bersuiran, air kali terantuk batu-batu, pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali nampak tenang dan mengkilat di bawah sinar bulan. Ia tak takut lagi. Ia sudah menerima takdir hidupnya sebagai pelacur dan pasti masuk neraka. Sejak sore tadi ia merunut hidupnya mencoba untuk mencari kapan dan dimana letak dosa pertamanya. Tetapi ia malah teringat kenangan indah masa kanak-kanak dan remajanya; mandi di kali dengan ibunya, memanjat pohonan dan memancing ikan dengan pacarnya. Ia tak lagi merasa sepi dan takutnya pergi. Ia kini hanya merasa sedih karena hidupnya telah gagal. Menangis ia tersedu-sedu, entah siapa yang mendengar.
Di tengah isaknya, terdengar suara memanggil namanya, “Maria, engkaukah itu?” seorang lelaki memanggilnya.
“Ya,” jawab Maria keheranan.
Lelaki itu menyebrang kali, Ia tegap dan elok wajahnya. Rambutnya ikal dan matanya lebar. Maria berdebar hatinya ia seperti pernah kenal lelaki itu. Seperti seorang yang pernah dekat dengan dirinya dulu.
“Jadi, kita ketemu di sini.” Kata lelaki itu.
Maria tak tahu apa jawabnya. Sementara ia keheranan, lelaki itu lekas membungkuk dan mencium mulutnya. Ada kesegaran yang ia rasakan. Ia merasa seperti minum air kelapa. Belum pernah ia merasa ciuman seperti ini. Lalu lelaki itu membuka kutangnya. Diciuminya Maria dengan mesra. Ia tak berdaya dan memang suka. Ia pejamkan matanya dan berlayar ke samudra yang belum pernah dikenalnya.
Setelah selesai, Maria berkata, “Semula, kusangka hanya impian, bahwa hal ini bisa kualami. Semula tak berani kuharapkan bahwa lelaki tampan seperti kau bakal lewat dalam hidupku.”
Dengan penuh penghargaan lelaki itu memandang kepadanya Lalu tersenyum dengan hormat dan sabar.
“Siapa namamu?” Maria bertanya.
“Mempelai,” jawabnya
“Lihatlah, engkau melucu.” Dan sambil berkata begitu Maria menciumi seluruh tubuh lelaki itu. Tiba-tiba ia terhenti. Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.
Di dua tapak tangan.
Di dua tapak kaki.
Di lambung kiri.
Matanya terbelalak kaget, nafasnya berhenti. Pelan-pelan senyum di bibirnya merekah.
 “Aku tahu siapa kamu.” Ujarnya pelan.
---+++---
“Sampai disini kali ini ceritanya” Ujar si juru cerita.
“Apa yang terjadi pada Maria setelah itu?” Tanya para pendengar yang berkerumun.
“Tak ada yang tahu. Konon, Maria dan pemuda itu hilang dalam sebuah guratan cahaya dan tak ada yang pernah melihatnya lagi”, Jawab si juru cerita sambil melangkah pergi.

Disadur dari Puisi WS Rendra berjudul Nyanyian Angsa

No comments:

Post a Comment