Thursday 16 July 2015

Pernikahan dan Masyarakat

Mirza Adrian NP
6 Juli 2015

No union is more profound than marriage, for it embodies the highest ideals of love, fidelity, devotion, sacrifice, and family. In forming a marital union, two people become something greater than once they were. As some of the petitioners in these cases demonstrate, marriage embodies a love that may endure even past death. It would misunderstand these men and women to say they disrespect the idea of marriage. Their plea is that they do respect it, respect it so deeply that they seek to find its fulfillment for themselves. Their hope is not to be condemned to live in loneliness, excluded from one of civilization's oldest institutions. They ask for equal dignity in the eyes of the law. The Constitution grants them that right. -- Justice Anthony Kennedy, Obergefell v. Hodges majority opinion

Under the Constitution, judges have power to say what the law is, not what it should be. The people who ratified the Constitution authorized courts to exercise "neither force nor will but merely judgment." ... It is striking how much of the majority’s reasoning would apply with equal force to the claim of a fundamental right to plural marriage. If “[t]here is dignity in the bond between two men or two women who seek to marry and in their autonomy to make such profound choices,” ... why would there be any less dignity in the bond between three people who, in exercising their autonomy, seek to make the profound choice to marry? If a same-sex couple has the constitutional right to marry because their children would otherwise “suffer the stigma of knowing their families are somehow lesser,” ... why wouldn't the same reasoning apply to a family of three or more persons raising children? If not having the opportunity to marry “serves to disrespect and subordinate” gay and lesbian couples, why wouldn’t the same “imposition of this disability,” ... serve to disrespect and subordinate people who find fulfillment in polyamorous relationships? -- Chief Justice John Roberts, Obergefell v. Hodges dissenting opinion

******

Pada tanggal 26 Juni 2015 lalu, Mahkamah Konstitusi Amerika Serikat dalam kasus Obergefell v. Hodges mengeluarkan sebuah keputusan historis untuk melegalkan pernikahan sesama jenis di Amerika. Keputusan ini didasarkan pada Equal Protection Clause yang tertera pada konstitusi Amerika Serikat Amandemen ke-14 bagian pertama yang berbunyi:
All persons born or naturalized in the United States, and subject to the jurisdiction thereof, are citizens of the United States and of the State wherein they reside. No State shall make or enforce any law which shall abridge the privileges or immunities of citizens of the United States; nor shall any State deprive any person of life, liberty, or property, without due process of law; nor deny to any person within its jurisdiction the equal protection of the laws.
Dalam kasus ini, keputusan untuk melegalkan pernikahan sesama jenis didasarkan pada konsep kesetaraan setiap warga negara untuk mendapatkan perlindungan hukum dari negara serta konsep ketidakmampuan negara untuk menyangkal kehidupan dan kebebasan warga negara tanpa proses hukum yang jelas. Keputusan ini menuai banyak komentar dari sisi pro dan kontra pernikahan sesama jenis di dalam dan luar Amerika. Bagi saya, keputusan ini menunjukkan bahwa, meskipun pernikahan sudah dilakukan selama berabad-abad lamanya, pernikahan tetap menjadi ritual yang sangat rumit bagi masyarakat kita sekarang.

Kerumitan ini muncul karena kita sebagai masyarakat memberikan banyak nilai kepada ritual pernikahan. Mulai dari nilai mengenai kesucian, seksualitas, stabilitas sosial masyarakat, stabilitas demografi, hingga konsep gender tercakup dalam pelaksanaan ritual ini. Bahkan bisa dibilang bahwa pelaksanaan ritual pernikahan merupakan pejawantahan nilai-nilai yang terkandung dalam hukum adat, agama, dan negara yang berlaku di dalam masyarakat. Selain itu, pada negara yang sekuler, kerumitan pernikahan juga ditambah dengan adanya pemisahan antara agama dan negara. Hal ini berakibat pada pengesahan pernikahan yang turut terpisah pada dua institusi tersebut. Dalam pemisahan tersebut, dimungkinkan terjadinya pertentangan antara hukum agama dan hukum negara seperti yang terjadi pada kasus Obergefell v. Hodges di Mahkamah Konstitusi Amerika Serikat - perlu diingat bahwa pengaruh Kristen Konservatif yang menentang pernikahan sesama jenis di Amerika juga cukup kuat.

Pemberian hak legal kepada pernikahan sesama jenis di Amerika mengingatkan kita bahwa hingga saat ini definisi dari pernikahan bukan merupakan sebuah kesimpulan yang bersifat ajek namun lebih merupakan rangkaian pertanyaan terbuka yang jawabannya bergantung pada interpretasi masyarakat yang berlaku mengenai hubungan intim antar-personal. Dimana garis batas tindakan publik dan privat? Apa batas-batas perilaku "alami"? Bagaimana seharusnya "tindakan membahayakan" atau "tindakan konsensual" didefinisikan? Apa yang harus dilakukan ketika pandangan mengenai seksualitas bertentangan dengan nilai-nilai fundamental lainnya? Dan peran apa yang harus diambil negara dalam pengaturan moralitas, penjagaan kesehatan, pendefinisian perilaku yang melenceng, serta perlindungan kepada kelompok rentan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanyalah sebagian kecil dari pertanyaan mengenai pernikahan yang sah. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebagai masyarakat kita tidak pernah sepenuhnya setuju. Selain itu, jawaban kita pun terus berubah sesuai dengan interpretasi zaman. Seringkali, pertentangan ini muncul dari banyak aspek. Dalam aspek hukum, filsafat, politik, dan kehidupan publik, masalah pernikahan telah memicu perdebatan di dalam masyarakat dari Abad 17 hingga sekarang.

Mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas bukanlah hal yang mudah. Sifat pertanyaan yang terbuka terhadap berbagai jawaban membuat konsensus dalam masyarakat sangat sulit untuk dicapai. Selain itu juga, kompleksitas pandangan masing-masing individu mengenai seksualitas seringkali menghasilkan standar ganda yang memperbolehkan satu tindakan namun melarang tindakan lainnya dalam alur logika yang sama. Misal, tujuan pernikahan untuk berkembang biak seringkali menjadi alasan pelarangan hubungan sesama jenis namun hal ini tidak berlaku bagi pasangan heteroseks yang menggunakan alat kontrasepsi atau mandul. Relasi antara tindakan pribadi dan moralitas publik juga menambah dimensi kompleksitas pertanyaan pernikahan. Salah satu alasan yang cukup dominan dalam penolakan pernikahan sesama jenis atau hubungan seksual di luar nikah adalah perusakan moral publik. Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat jika tindakan yang dilakukan oleh individu di dalam masyarakat dihubungkan dengan kehendak bebas, tindakan konsensual, dan penjaminan hak individu untuk menjalankan kehidupan sesuai dengan pilihan masing-masing

Meskipun dialektika mengenai pernikahan selalu hadir di dalam masyarakat yang heterogen, diskursus mengenai pernikahan baru kembali naik daun sejak pelegalan pernikahan sesama jenis di Amerika. Hal ini terlihat dari banyaknya opini yang muncul mengenai pernikahan di berbagai media sosial. Dalam penyampaian pendapat ini, terlihat banyak pendekatan yang digunakan oleh publik untuk menghadapi kompleksitas isu pernikahan. Tentunya, semua pendapat dari berbagai pendekatan yang telah dilontarkan secara publik memiliki kebenaran dan kesalahannya masing-masing. Dalam tulisan ini saya akan mencoba untuk menggunakan kacamata sosio-politik untuk mendekati isu pernikahan dan mencoba untuk menjawab berbagai pertanyaan yang sebelumnya dilontarkan di atas. Namun demikian, mengingat jumlah dan kompleksitas pertanyaan-pertanyaan seputar pernikahan, pembaca sebaiknya tidak berekspektasi untuk mendapatkan semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas dalam tulisan ini.

Seperti ditulis sebelumnya, pelaksanaan ritual pernikahan merupakan pejawantahan nilai-nilai yang terkandung dalam hukum adat, agama, dan negara yang berlaku di dalam masyarakat. Masing-masing hukum memiliki perannya sendiri dalam melegitimasi pernikahan sehingga pernikahan dapat diterima sepenuhnya oleh masyarakat. Hukum agama memberikan legitimasi dari masyarakat terkait moralitas individu dalam kaitan antara pernikahan dan perintah Tuhan. Legitimasi ini diperlukan oleh individu untuk memastikan bahwa pernikahan yang berlangsung tidak bertentangan dengan perintah Tuhan atau nilai-nilai konservatif yang berlaku di dalam masyarakat. Hukum adat memberikan legitimasi dari masyarakat terkait moralitas individu dalam kaitan antara pernikahan dan tata nilai adat. Legitimasi ini diperlukan oleh individu untuk memastikan bahwa pernikahan yang berlangsung tidak bertentangan dengan tradisi yang berlaku di dalam masyarakat. Sementara hukum negara memberikan legitimasi legal terkait penikahan yang berlangsung. Legitimasi ini diperlukan oleh individu untuk menjamin perlindungan dari negara terhadap hak-hak semua pihak yang terlibat dalam pernikahan. Secara teori, tanpa legitimasi dari salah satu hukum, keabsahan pernikahan dapat dipertanyakan oleh masyarakat. Meskipun bobot kepentingan masing-masing hukum bergantung pada masyarakat dimana pernikahan tersebut berlangsung.

Hal yang menarik untuk diamati adalah bagaimana interaksi ketiga hukum tersebut di dalam masyarakat menentukan bagaimana pernikahan yang sah dilangsungkan. Di dalam masyarakat modern yang hidup dengan kelincahan pertukaran informasi secara global, nilai-nilai yang berada di dalam masyarakat terus menerus ditinjau dan diperbandingkan dengan nilai-nilai lain yang beredar secara global sehingga menghasilkan banyak perubahan pemaknaan pada tindakan-tindakan yang berlangsung di dalam masyarakat. Menariknya, perubahan ini dapat terwujud sebagai pemantapan nilai atau pengikisan nilai yang beredar di dalam masyarakat. Contoh menarik yang dapat terlihat adalah penggunaan atribut dan tata cara adat dalam pelangsungan pernikahan di daerah urban Indonesia. Dengan adanya pengaruh pertukaran informasi akibat luwesnya interaksi dan mobilitas sosial di area urban, terbentuk dua kesimpulan mengenai tata cara dan penggunaan atribut adat dalam pernikahan, yaitu modernisasi dan tradisionalisasi.

Bagi beberapa orang di area urban Indonesia saat ini, perbandingan tata cara pernikahan global dengan tradisi memutus keharusan pernikahan untuk mengikuti tata cara tradisional. Hal ini terlihat dengan adanya pilihan gaya "Nasional" pada pernikahan di Indonesia yang tidak terikat tradisi manapun di Indonesia. Selain itu juga, dalam hal pemilihan pasangan, kebebasan pemilihan pasangan sudah menjadi hal yang lumrah bagi banyak orang sehingga masing-masing individu dapat memilih pasangan tanpa melihat kaidah adat pemilihan pasangan. Namun demikian, perbandingan tata cara pernikahan global juga menghasilkan kesimpulan yang berbeda bagi beberapa orang yang merasa perlu untuk melestarikan tradisi pernikahan sebagai sebuah wujud tradisi. Hal ini terlihat dari banyaknya pasangan atau orang tua dari pasangan yang dengan tegas memilih pernikahan dengan menggunakan tata cara adat dan memberlakukan aturan adat dalam pemilihan pasangan. Misal, bagi beberapa orang, pasangan yang dinikahi harus dari suku atau etnis yang sama dan mengikuti tata cara yang telah digariskan dalam tradisi. Dari contoh di atas, kita bisa melihat bahwa definisi pernikahan yang sah dapat berubah di dalam masyarakat - terutama di daerah urban - dengan adanya keluwesan interaksi dan mobilitas sosial dalam masyarakat itu sendiri.

Interaksi menarik lain antara ketiga hukum tersebut juga dapat terlihat dari keabsahan poligami yang sesuai dengan ajaran agama Islam menurut banyak orang. Berbagai hukum adat Indonesia juga memperbolehkan praktik perseliran bagi raja atau sultan. Akan tetapi, di banyak negara, praktik poligami merupakan praktik yang ilegal dan ditentang keras oleh masyarakat. Bahkan, dalam kutipan yang tertulis sebelum tulisan ini, dalam kasus Obergerfell v. Hodges, Hakim John Roberts yang menentang pernikahan sesama jenis menganggap bahwa salah satu konsekuensi negatif dari pelegalan pernikahan sesama jenis adalah pelegalan poligami di masa mendatang dan menunjukkan bahwa poligami dan pernikahan sesama jenis dianggap penggerusan moral masyarakat yang setara. Di Indonesia sendiri, poligami diberikan perlindungan hukum oleh negara dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan meskipun perizinannya diberikan setengah hati. Dalam Pasal 3 undang-undang ini, dituliskan bahwa pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Akan tetapi, Pengadilan Agama dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan telah memenuhi persyaratan yang tertera pada Pasal 4 dan Pasal 5 UU No 1/1974 tentang Perkawinan.

Dalam praktiknya, keputusan untuk melakukan poligami oleh suami tidak hanya bergantung pada ketersediaan payung hukum namun juga sangat bergantung pada kondisi sosial terutama pandangan masyarakat mengenai kesetiaan pasangan dalam ikatan pernikahan. Banyak orang yang menolak praktik poligami karena praktik ini dipandang sebagai bentuk ketidaksetiaan suami dalam ikatan pernikahan atau bahkan dilihat sebagai perendahan derajat perempuan. Sementara itu, pendukung poligami merasa bahwa praktik ini dapat dilakukan selama suami memperlakukan semua istri dan anaknya secara adil dalam urusan lahir dan batin. Bahkan, bagi beberapa pendukung poligami, praktik ini juga dianggap sebagai solusi dari permasalahan demografi perempuan yang jumlahnya lebih banyak daripada laki-laki. Menariknya, mengingat banyaknya sub-kultur yang ada di dalam masyarakat modern, praktik poligami dapat dilakukan oleh sebagian masyarakat di Indonesia sementara sebagian lain menolak praktik ini.

Diskusi mengenai tata cara pernikahan dan poligami di atas hanyalah sebagian kecil dari diskusi yang mungkin diangkat mengenai praktik pernikahan yang ada di dalam masyarakat. Dari diskusi ini dapat terlihat bahwa keabsahan pernikahan sangat dipengaruhi oleh bagaimana hukum-hukum yang berlaku di dalam masyarakat berinteraksi dan bagaimana individu di dalam masyarakat memaknai hukum-hukum tersebut dalam kehidupannya. Dalam sebuah masyarakat yang heterogen dan hidup, dialektika yang terjadi antara hukum agama, hukum adat, dan hukum negara memungkinkan terjadinya perubahan definisi pernikahan yang sah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keabsahan pernikahan bukan merupakan sebuah kesimpulan yang ajek namun lebih merupakan sebuah polemik yang rumit dengan kesimpulan yang dapat berubah sesuai dengan kondisi masyarakat itu sendiri.

Terkait pelegalan pernikahan sesama jenis di Amerika, perlu diingat bahwa keputusan ini merupakan keputusan legal yang disimpulkan dari proses yudikatif di Amerika sehingga keputusan ini tentunya mengandung nilai-nilai masyarakat Amerika pada saat ini. Mengingat hal ini, tentunya kita tidak perlu menganggap bahwa keputusan ini merupakan keputusan yang berlaku di seluruh dunia, meskipun keputusan ini merupakan perkembangan yang cukup signifikan bagi kelompok LGBT. Selain itu, perlu diperhatikan bahwa dalam pengambilan keputusan pelegalan pernikahan sesama jenis dalam kasus Obergefell v. Hodges, masih terdapat 4 dari 9 hakim yang menolak pelegalan pernikahan sesama jenis dan masing-masing memberikan opini sendiri terkait kasus ini. Perbedaan pendapat dalam tim hakim Mahkamah Konstitusi Amerika ini sangat berbeda dengan keputusan bulat 9 hakim dalam kasus Loving v. Virginia di tahun 1967 yang melegalkan pernikahan antar-ras di Amerika. Ketidaksetujuan ini menunjukkan bahwa perdebatan mengenai keabsahan pernikahan masih terus berlanjut dan tidak menutup kemungkinan bahwa keputusan pelegalan pernikahan sesama jenis dapat dibatalkan dalam kasus lain di masa depan. Pada akhirnya, selama manusia melakukan pemaknaan terhadap hubungan intim antar-personal yang terjadi di dalam masyarakat, selamanya definisi dari pernikahan dan rumah tangga akan dipertanyakan. 

No comments:

Post a Comment