Mirza Adrian NP
(21 April 2014)
Setelah beberapa bulan tinggal di Jakarta, saya menemukan sebuah fenomena yang tidak pernah saya temukan sebelumnya di Bandung: Voorijder di jalan. Mungkin karena di Bandung saya tidak pernah lewat jalan utama (dan pastinya aneh juga kalau ada pejabat dengan voorijder lewat di Cisitu - Tamansari) sehingga saya tidak pernah menemukan kendaraan jenis ini di Bandung. Sejauh ini saya merasa bertemu dengan kendaraan ini adalah kejadian paling mengesalkan yang bisa terjadi di kemacetan Jakarta, setara dengan disembur asap Kopaja atau motor 2-Tak. Dengan sirine yang keras dan meraung, kendaraan ini meminta semua kendaraan lain untuk menyingkir demi kelancaran pejabat di belakangnya. Seakan-akan jalanan Jakarta adalah fasilitas untuk pejabat negara dan rakyat hanya menumpang. Tapi dibalik kekesalan itu, saya kemudian teringat pada sebuah buku yang ditulis oleh Tom Vanderbilt berjudul Traffic.
Dalam buku ini Vanderbilt berpendapat bahwa kondisi lalu lintas adalah cermin paling jujur dari budaya dan kondisi sosial masyarakat karena menurut dia jalan adalah sebuah wahana interaksi sosial yang paling demokratis dimana semua orang berkumpul dan berinteraksi dengan batasan sistem hukum yang formal dan nonformal di antara pengguna jalan. Dalam buku itu Vanderbilt menulis:
The road, more than simply a system of regulations and designs, is a place where many millions of us, with only loose parameters for how to behave, are thrown together daily in a kind of massive petri dish in which all kinds of uncharted, little-understood dynamics are at work. There is no other place where so many people from different walks of life—different ages, races, classes, religions, genders, political preferences, lifestyle choices, levels of psychological stability—mingle so freely. (Traffic, Tom Vanderbilt)
Sehingga perilaku kita berlalu lintas dapat digunakan sebagai bahan analisis untuk membantu kita untuk memahami kondisi Indonesia yang lebih makro.