Monday, 23 June 2014

Voorijder

Mirza Adrian NP
(21 April 2014)

    Setelah beberapa bulan tinggal di Jakarta, saya menemukan sebuah fenomena yang tidak pernah saya temukan sebelumnya di Bandung: Voorijder di jalan. Mungkin karena di Bandung saya tidak pernah lewat jalan utama (dan pastinya aneh juga kalau ada pejabat dengan voorijder lewat di Cisitu - Tamansari) sehingga saya tidak pernah menemukan kendaraan jenis ini di Bandung. Sejauh ini saya merasa bertemu dengan kendaraan ini adalah kejadian paling mengesalkan yang bisa terjadi di kemacetan Jakarta, setara dengan disembur asap Kopaja atau motor 2-Tak. Dengan sirine yang keras dan meraung, kendaraan ini meminta semua kendaraan lain untuk menyingkir demi kelancaran pejabat di belakangnya. Seakan-akan jalanan Jakarta adalah fasilitas untuk pejabat negara dan rakyat hanya menumpang. Tapi dibalik kekesalan itu, saya kemudian teringat pada sebuah buku yang ditulis oleh Tom Vanderbilt berjudul Traffic.

    Dalam buku ini Vanderbilt berpendapat bahwa kondisi lalu lintas adalah cermin paling jujur dari budaya dan kondisi sosial masyarakat karena menurut dia jalan adalah sebuah wahana interaksi sosial yang paling demokratis dimana semua orang berkumpul dan berinteraksi dengan batasan sistem hukum yang formal dan nonformal di antara pengguna jalan. Dalam buku itu Vanderbilt menulis:
The road, more than simply a system of regulations and designs, is a place where many millions of us, with only loose parameters for how to behave, are thrown together daily in a kind of massive petri dish in which all kinds of uncharted, little-understood dynamics are at work. There is no other place where so many people from different walks of life—different ages, races, classes, religions, genders, political preferences, lifestyle choices, levels of psychological stability—mingle so freely. (Traffic, Tom Vanderbilt)
Sehingga perilaku kita berlalu lintas dapat digunakan sebagai bahan analisis untuk membantu kita untuk memahami kondisi Indonesia yang lebih makro.


    Analisis lalu lintas ini juga pernah dilakukan oleh Wolfram Lorenz dalam tulisannya yang berjudul “The impact of modern traffic and traditional life on informal traffic rules" yang akhirnya menyimpulkan bahwa berlalu lintas di Indonesia (dalam kasus jurnal ini di Yogyakarta) adalah cerminan sistem relasi kekuasaan dengan pejalan kaki sebagai rakyat jelata berada di paling bawah dan polisi sebagai otoritas berada di paling atas. Perilaku masing-masing komponen harus sesuai dengan posisinya dalam relasi kekuasaan tersebut demi keamanan dan keselamatan masing-masing. Namun tentunya, seperti yang telah diajukan oleh Vanderbilt, perilaku berlalu lintas berhubungan erat dengan perilaku masyarakat secara umum sehingga relasi kekuasaan yang diajukan oleh Lorenz tentunya berhubungan dengan relasi kekuasaan yang ada di dalam masyarakat Indonesia itu sendiri.

    Meskipun menurut Lorenz hierarki ini bersifat praktis untuk menjaga keselamatan pengguna jalan, menurut saya hierarki ini berhubungan dengan analisis yang dilakukan oleh Benedict Anderson dalam bukunya Language and Power. Analisis pada bagian awal buku ini menyatakan bahwa pada dasarnya relasi kekuasaan adalah relasi yang diturunkan dari peradaban terdahulu dan untuk Indonesia relasi ini diwariskan dari relasi kekuasaan Keraton Jawa. Dalam perkembangannya, pertumbuhan ide-ide demokrasi modern ternyata tidak menyingkirkan sistem relasi kekuasaan ini. Bahkan, seperti yang telah dipaparkan oleh Boeke, kedua sistem tersebut hidup berdampingan di dalam masyarakat kita dengan dinamikanya sendiri. Dualisme ini menciptakan sebuah pertentangan yang hidup berdampingan dan menciptakan sebuah masyarakat Neo-tradisional dimana relasi kekuasaan Keraton Jawa tetap dijaga secara informal di dalam masyarakat meskipun secara formal masyarakat ini sudah menganut sistem demokrasi modern.

    Seperti dijelaskan oleh Anderson, dalam relasi kekuasaan Keraton Jawa, kekuasaan bukan merupakan sebuah mandat yang diberikan oleh massa kepada institusi. Akan tetapi kekuasaan adalah sebuah wahyu yang diberikan kepada individu untuk berkuasa. Sehingga kekuasaan adalah sesuatu yang utuh dan mutlak dimiliki oleh individu yang didapat dari sumber di luar masyarakat, bukan dari masyarakat itu sendiri. Karena kekuasaan dianggap sebagai sebuah wahyu atau energi kosmik untuk berkuasa, di dalam masyarakat kekuasaan terdistribusikan secara konsentris dengan penguasa utama (raja atau sultan) berada di tengah dan kelompok-kelompok pembentuk masyarakat mengelilingi sang Penguasa secara berlapis mulai dari patih hingga rakyat jelata. Dalam konsep ini, jarak antara kelompok masyarakat dengan sang Penguasa menjadi penting dalam distribusi kekuasaan yang dimiliki oleh sang Penguasa. Semakin dekat seseorang dengan Penguasa, semakin besar pula energi kekuasaan yang dia dapat sehingga dia lebih berkuasa daripada seseorang yang posisinya lebih jauh dari sang Penguasa. Dari konsep ini lahir relasi kekuasaan seperti yang diungkapkan oleh Lorenz dimana polisi (sebagai perpanjangan tangan dari Penguasa) memiliki otoritas lebih daripada semua elemen lalu lintas yang ada.

     Dari konsep relasi kekuasaan inilah, menurut saya, pejabat (sebagai orang yang dekat dengan presiden yang sedang memegang wahyu “kekuasaan”) mendapatkan “legitimasi” untuk mendapatkan keistimewaan dalam kesehariannya. Sehingga “wajar” jika penggunaan pengawal untuk mengatasi kemacetan digunakan dalam aktivitasnya. Bahkan, pejabat yang tidak menggunakan pengawalan demikian dianggap luar biasa atau setidaknya di luar kebiasaan yang ada. Untuk menjamin legalitas dari pemberian keistimewaan ini, perilaku ini disahkan dalam UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 134 yang menjelaskan bahwa kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia termasuk ke dalam pengguna jalan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan. Dan pada pasal selanjutnya, disebutkan bahwa mereka harus dikawal oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan menggunakan isyarat lampu merah atau biru dan bunyi sirene. Dan dengan demikian, para pengawal juga menganggap bahwa menjamin keistimewaan pejabat yang dikawal adalah bagian dari tugas mereka yang harus dilakukan dengan baik, bagaimanapun caranya.

     Lalu apa dampaknya dengan hukum di negara yang selalu mengaku sebagai negara hukum dalam kondisi masyarakat yang demikian?

    Menurut saya pertanyaan ini bisa terjawab dengan melihat fenomena Voorijder yang saya temui dalam perjalanan saya di Ibukota. Salah satu fenomena yang kerap saya lihat dalam kemacetan ibukota adalah pejabat yang menembus lampu merah dengan bantuan voorijder mereka.

    Dari kejadian tersebut, terdapat metafora menarik yang dapat terlihat mengenai kondisi hukum kita. Lampu lalu lintas adalah hukum yang seharusnya ditaati semua pengguna jalan; pejabat sebagai badan eksekutif negara adalah pelaksana hukum yang berlaku; voorijder dari kepolisian adalah kekuatan negara untuk penegakan hukum; dan tentunya ada juga masyarakat yang hak-haknya dijamin oleh hukum untuk menggunakan jalan pada saat lampu hijau. Dalam konteks yang demikian, aksi menerobos lampu merah dengan bantuan voorijder dapat diartikan sebagai pelanggaran hukum oleh pelaksana hukum dengan bantuan penegak hukum dan berakibat pada perampasan hak masyarakat yang seharusnya dijamin oleh hukum. Sementara masyarakat yang haknya dirampas oleh pejabat yang demikian hanya bisa diam karena tidak mampu melawan atau menganggap hal ini wajar karena memang sudah pada tempatnya pejabat untuk didahulukan.

    Dan itulah salah satu hikmah kesimpulan yang bisa saya ambil dari fenomena di antara kemacetan ibukota ini.