Friday, 26 October 2012

Dangdut: Goyangan Jiwa Masyarakat Indonesia




  Tulisan ini disajikan dalam Forum Kebudayaan Indonesia di ITB. Tulisan ini lebih merupakan ringkasan buku yang ditulis oleh Andrew Weintraub berjudul Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia's Most Popular Music yang kemudian diterjemahkan menjadi Dangdut: Musik, ldentitas, dan Budaya Indonesia oleh Arif Bagus Prasetyo dan diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia.

Oleh: Mirza Adrian NP

Banyak orang yang berkata bahwa dangdut adalah musik yang tidak pantas untuk dikaji, bahkan mendengarkan musik dangdut di kelas social tertentu adalah tindakan yang memalukan. Dangdut selalu dipandang sebagai musik yang kacangan, katro, norak, kampungan, ndeso, dan selalu dipandang sebelah mata oleh kelas menengah ke atas dalam posisinya sebagai musik populer Indonesia. Namun, Dangdut, sebagai sebuah musik populer yang mampu menembus berbagai macam lapisan masyarakat, bisa menjadi sebuah prisma yang berguna untuk melihat kondisi masyarakat kita, melebihi musik pop, rock, atau jazz. Sehingga, kajian mengenai dangdut pada dasarnya adalah sebuah upaya untuk melihat paradigma masyarakat Indonesia secara mendalam dari sudut pandang yang lebih santai. Tulisan ini akan menjabarkan cerita perkembangan Dangdut yang diambil dari buku Andrew Weintraub berjudul Dangdut: Musik, ldentitas, dan Budaya Indonesia dan akhirnya mencoba untuk mejawab pertanyaan: Di era sekarang ini, dimana pilihan musik hampir tanpa batas, apakah dangdut masih relevan untuk dikaji?

Tuesday, 17 July 2012

Statement of Intent


The unknowns for scientists is like the wilderness for explorers - it is a blessing of discovery, the thrill of adventure. So come, my love, let us go into the wild! We have oceans to sail, mountains to climb, and wilderness to explore. In short, we have the world and beyond to discover! Let us push the boundary of the known world. We shall be the first human to witness the new world. First eyes to see, first ears to hear, the first human to know the new world. For we are its discoverer.
But, my love, I shall warn you, the road won’t be easy. For we will walk paths never trodden before. Without any guidance - not even maps nor stars to show us the way. Without any assurance that our resources is enough to carry us. And at times, we will have to force our heart and nerve and sinew to serve us long after they are gone. But, we shall endure, my Love! We will hold on, with nothing except our Will which says to them: ‘Hold on!’.
Since it is our passion.
It is the reason of our existence.

Saturday, 14 July 2012

Kerusakan Struktur Jalan


Mirza Adrian NP (150 08 040)
Gini Arimbi (150 08 044)
Ditulis untuk artikel di Majalah Cremona 2012

Jalan merupakan infrastruktur terpenting dalam sistem transportasi darat di Indonesia. Terjaminnya struktur perkerasan yang baik akan menjamin keberlangsungan sistem transportasi yang baik pula. Namun, struktur jalan yang tersedia di dalam sistem transportasi darat ternyata belum mampu untuk memenuhi standar sehingga sistem transportasi darat di Indonesia tidak bisa memberikan layanan yang memadai. Akibatnya, terjadi banyak kerugian yang harus ditanggung oleh pengguna jalan baik secara makro maupun mikro. Secara mikro, kerusakan jalan menyebabkan kerusakan pada kendaraan dan pengurangan laju kendaraan sehingga menambah biaya operasi kendaraan dan memperlambat waktu tempuh. Pengaruh ini akan memperlambat keberjalanan ekonomi secara makro karena memperlambat perdagangan dan mempengaruhi aksesibilitas barang. Oleh karena itu, kondisi jalan yang baik harus dicapai untuk menghindari hal-hal ini.

Kerusakan pada struktur jalan terbagi menjadi dua kriteria besar: retak dan deformasi permanen. Kerusakan retak adalah kerusakan struktur jalan yang terjadi akibat pelepasan lapisan permukaan dari lapisan bawahnya. Kerusakan ini terjadi akibat beban tarik yang terjadi di lapisan permukaan melebihi kapasitas tarik bahan perkerasan. Sementara kerusakan deformasi permanen adalah kerusakan yang terjadi akibat penurunan permukaan tanah. Kerusakan ini terjadi karena beban yang diterima oleh jalan tidak mampu dipikul oleh lapisan tanah dasar. Kerusakan-kerusakan ini terjadi akibat beberapa faktor, antara lain perilaku pengguna jalan, pengaruh lingkungan, dan pelaksanaan konstruksi struktur perkerasan jalan. Seluruh faktor tersebut harus direkayasa untuk menjaga kondisi jalan yang baik.

Wednesday, 4 July 2012

Belajar Membaca

Mirza Adrian NP

Masihkah Anda ingat saat Anda kecil dan baru mulai belajar membaca? Saat kita baru bisa mengeja, menyuarakan aksara sesuai dengan ajaran lingkungan kita? Bahwa huruf “A” berbunyi “ā” bukan “ĭ”. Kemudian kita belajar untuk merangkai huruf-huruf itu menjadi sebuah kata. Kata kemudian dirangkai menjadi kalimat. Lalu kita mulai berkenalan dengan Ibu Budi yang memasak di dapur, Bapak Budi yang bekerja di kantor, dan Budi yang suka bermain bola. Seiring dengan waktu, hal-hal yang kita baca semakin kompleks. Buku-buku sudah banyak yang habis kita baca, mulai dari buku pelajaran hingga novel-novel sudah ditamatkan. Beberapa bahkan berkali-berkali. Namun sudahkah kita membaca?

Kita bisa membaca karena manusia sebagai makhluk yang berakal mempunyai kemampuan untuk memproduksi dan mengonsumsi simbol. Selain itu, manusia juga telah menciptakan bahasa lisan dan tulisan sebagai medium untuk berkomunikasi, untuk menyampaikan simbol yang sudah diproduksi kepada penerima yang akan mengonsumsi. Sehingga proses membaca pada dasarnya adalah sebuah proses mengartikan dan memaknai, mengubah simbol-simbol, dalam kasus ini adalah aksara, menjadi suatu abstraksi yang bermakna di dalam kepala kita. Namun, simbol tidak terbatas hanya pada aksara, segala sesuatu yang bisa dimaknai lebih dari penampakan fisiknya adalah simbol. Dengan kemampuan kita untuk memproduksi dan mengonsumsi simbol, kita bisa membuat segala sesuatu menjadi simbol dan kita juga bisa membaca segala sesuatu sebagai simbol. Contohnya, sebuah garukan di kepala bisa diartikan sebagai kebingungan, bukan sekedar gatal yang harus digaruk. Maka dengan cara yang sama, kita seharusnya juga bisa membaca pohon, angin, daun, langit, atau apapun di sekitar kita. Akan tetapi, kita sepertinya sudah kehilangan kemampuan kita untuk membaca lingkungan di sekitar kita.

Zaman modern telah meredam kemampuan kita membaca lingkungan sekitar kita. Zaman ini telah menutup pembacaan manusia terhadap lingkungan menjadi sebuah pembacaan yang mekanistis, terstruktur, dan rasional. Tak ada lagi tempat untuk hal-hal yang gaib, spontan, dan irasional. Padahal sebagian dari kemanusiaan kita terletak di dalam kegaiban, spontanitas, dan irasionalitas itu. Hal ini wajar karena pengalaman manusia modern tentang lingkungan adalah sebuah pengalaman eksploitasi dimana alam adalah sumber daya yang diolah menjadi pemenuh kebutuhan manusia. Maka, ketika kita melihat pohon, yang kita baca adalah nilai guna dari sebuah pohon. Karena secara rasional, sebuah pohon akan lebih baik (baca: menguntungkan) jika dibuat menjadi mebel atau minimal penghias taman.

Padahal ada pemaknaan lebih yang bisa kita dapatkan pada pohon, lebih dari sekedar keuntungan dan nilai guna. Ada yang gagal kita baca, ada kegaiban yang gagal kita rasakan. Ada pesan dalam sepoi angin yang menggoyang dedaunan yang gagal kita maknai dalam keseharian kita. Ada keindahan yang selalu terlewati di sana. Ada yang harus kita temukan kembali dari sekitar kita. Sesuatu yang telah lama tidak kita baca hingga kita lupa cara membacanya. Ada yang harus kita pelajari kembali cara membacanya.

Selamat membaca!

Sunday, 24 June 2012

Resensi Mwathirika

Sebuah Lakon Tentang Cerita Kehilangan dan Cerita yang Hilang
Mirza Adrian NP
Pembaca dan Penulis Amatir
Ketika kita membaca sejarah, kita dapat melihat kembali banyak peristiwa yang telah terjadi namun tidak akan lengkap, tidak akan penuh dan menyeluruh. Selalu ada bagian dalam sejarah yang tidak akan terbaca. Dari pembacaan tentang pergolakan revolusi Indonesia, contohnya, kita bisa menelusuri perkembangan perjuangan – kalah menang peperangan, perundingan, atau pidato-pidato tokoh. Tetapi pengalaman seorang spesifik individu – penderitaan, euphoria, atau ketakutan individu – tidak akan pernah tertulis di dalam buku sejarah. Hal ini disebabkan karena sejarah, pada dasarnya, adalah kumpulan dari beragam biografi yang telah melalui sebuah proses depersonalisasi. Sejarah adalah rangkaian peristiwa yang berpengaruh dalam perkembangan dunia dan manusia secara menyeluruh, bukan proses yang dilalui oleh individu di dalam prosesnya untuk ‘menjadi’. Cerita individu inilah yang tidak pernah tercantum di dalam sejarah – cerita mereka telah hilang ditelan oleh sejarah.

Saturday, 21 April 2012

Dongeng Marsinah


Sapardi Djoko Darmono
/1/
Marsinah buruh pabrik arloji,
mengurus presisi:
merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
waktu memang tak pernah kompromi,
ia sangat cermat dan pasti.
Marsinah itu arloji sejati,
tak lelah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
“kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi.”
/2/
Marsinah, kita tahu, tak bersenjata,
ia hanya suka merebus kata
sampai mendidih,
lalu meluap ke mana-mana.
“Ia suka berpikir,” kata Siapa,
“itu sangat berbahaya.”
Marsinah tak ingin menyulut api,
ia hanya memutar jarum arloji
agar sesuai dengan matahari.
“Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa,
“dan harus dikembalikan
ke asalnya, debu.”
/3/
Di hari baik bulan baik,
Marsinah dijemput di rumah tumpangan
untuk suatu perhelatan.
Ia diantar ke rumah Siapa,
ia disekap di ruang pengap,
ia diikat ke kursi;
mereka kira waktu bisa disumpal
agar lenkingan detiknya
tidak kedengaran lagi.
Ia tidak diberi air,
ia tidak diberi nasi;
detik pun gerah
berloncatan ke sana ke mari.
Dalam perhelatan itu,
kepalanya ditetak,
selangkangnya diacak-acak,
dan tubuhnya dibirulebamkan
dengan besi batangan.
Detik pun tergeletak
Marsinah pun abadi.
/4/
Di hari baik bulan baik,
tangis tak pantas.
Angin dan debu jalan,
klakson dan asap knalpot,
mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk.
Semak-semak yang tak terurus
dan tak pernah ambil peduli,
meregang waktu bersaksi:
Marsinah diseret
dan dicampakkan —
sempurna, sendiri.
Pangeran, apakah sebenarnya
inti kekejaman? Apakah sebenarnya
sumber keserakahan? Apakah sebenarnya
azas kekuasaan? Dan apakah ebenarnya
hakikat kemanusiaan, Pangeran?
Apakah ini? Apakah itu?
Duh Gusti, apakah pula
makna pertanyaan?
/5/
“Saya ini Marsinah,
buruh pabrik arloji.
Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir
ke dunia lagi; jangan saya dikirim
ke neraka itu lagi.”
(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia sudah paham maksudnya.)
apa sebaiknya menggelinding saja
bagai bola sodok,
bagai roda pedati?”
(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia biarkan gerbang terbuka.)
“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal
wanita berotot,
yang mengepalkan tangan,
yang tampangnya garang
di poster-poster itu;
saya tidak pernah jadi perhatian
dalam upacara, dan tidak tahu
harga sebuah lencana.”
(Malaikat tak suka banyak berkata,
tapi lihat, ia seperti terluka.)
/6/
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini;
dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya
agar belajar memahami
hakikat presisi.
Kita tatap wajahnya
setiap hari pergi dan pulang kerja,
kita rasakan detak-detiknya
di setiap getaran kata.
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini.
(1993-1996)

Saturday, 25 February 2012

Dua Puisi Tentang Kenangan dan Hujan


I.

Semenjak jatuh cinta kepada matamu,
hujan yang selama ini dingin dan kaku
sebenarnya selalu berdoa agar bisa meleleh
menjadi air matamu.

Karena mendengar doa hujan yang tulus itu,
aku namakan saja pagi yang menggigil ini,
bukan dengan nama hari ataupun tanggal,
tapi dengan sebuah kenangan yang mampu
mencairkan dinginnya hujan menjadi
hangat tangismu.

Dengan harapan, setelah menetes dari sudut matamu,
dia mampu menjadi sungai yang mengalir di lembah merah jambu pipimu,
membasahi dataran hijau bibirmu, sambil mengikis lumpur
yang selama ini terendap
di hatimu.

II.

Kopi yang kuminum sore ini sebenarnya adalah kenangan
yang mencair dan menetes ke dalam cangkir.
Pahit dan hitam memang, tapi tetap kutenggak habis hingga tinggal ampas.
Sebelum akhirnya menguap dan menghilang tertiup angin
dalam kepulan asap rokok yang kuhembuskan pelan-pelan.

Karena begitulah kenangan,
Karena begitulah kehidupan,
Sayang.

- Mirza Adrian NP