Mirza Adrian
NP
Masihkah Anda ingat saat Anda kecil dan baru mulai belajar membaca? Saat
kita baru bisa mengeja, menyuarakan aksara sesuai dengan ajaran lingkungan
kita? Bahwa huruf “A” berbunyi “ā”
bukan “ĭ”. Kemudian kita belajar untuk merangkai huruf-huruf
itu menjadi sebuah kata. Kata kemudian dirangkai menjadi kalimat. Lalu kita
mulai berkenalan dengan Ibu Budi yang memasak di dapur, Bapak Budi yang bekerja
di kantor, dan Budi yang suka bermain bola. Seiring dengan waktu, hal-hal yang
kita baca semakin kompleks. Buku-buku sudah banyak yang habis kita baca, mulai
dari buku pelajaran hingga novel-novel sudah ditamatkan. Beberapa bahkan
berkali-berkali. Namun sudahkah kita membaca?
Kita bisa membaca karena manusia sebagai makhluk yang berakal mempunyai
kemampuan untuk memproduksi dan mengonsumsi simbol. Selain itu, manusia juga
telah menciptakan bahasa lisan dan tulisan sebagai medium untuk berkomunikasi,
untuk menyampaikan simbol yang sudah diproduksi kepada penerima yang akan
mengonsumsi. Sehingga proses membaca pada dasarnya adalah sebuah proses
mengartikan dan memaknai, mengubah simbol-simbol, dalam kasus ini adalah
aksara, menjadi suatu abstraksi yang bermakna di dalam kepala kita. Namun,
simbol tidak terbatas hanya pada aksara, segala sesuatu yang bisa dimaknai
lebih dari penampakan fisiknya adalah simbol. Dengan kemampuan kita untuk
memproduksi dan mengonsumsi simbol, kita bisa membuat segala sesuatu menjadi
simbol dan kita juga bisa membaca segala sesuatu sebagai simbol. Contohnya, sebuah
garukan di kepala bisa diartikan sebagai kebingungan, bukan sekedar gatal yang
harus digaruk. Maka dengan cara yang sama, kita seharusnya juga bisa membaca
pohon, angin, daun, langit, atau apapun di sekitar kita. Akan tetapi, kita
sepertinya sudah kehilangan kemampuan kita untuk membaca lingkungan di sekitar
kita.
Zaman modern telah meredam kemampuan kita membaca
lingkungan sekitar kita. Zaman ini telah menutup pembacaan manusia terhadap
lingkungan menjadi sebuah pembacaan yang mekanistis, terstruktur, dan rasional.
Tak ada lagi tempat untuk hal-hal yang gaib, spontan, dan irasional. Padahal
sebagian dari kemanusiaan kita terletak di dalam kegaiban, spontanitas, dan
irasionalitas itu. Hal ini wajar karena pengalaman manusia modern tentang lingkungan
adalah sebuah pengalaman eksploitasi dimana alam adalah sumber daya yang diolah
menjadi pemenuh kebutuhan manusia. Maka, ketika kita melihat pohon, yang kita
baca adalah nilai guna dari sebuah pohon. Karena secara rasional, sebuah pohon
akan lebih baik (baca: menguntungkan) jika dibuat menjadi mebel atau minimal penghias
taman.
Padahal ada pemaknaan lebih yang bisa kita dapatkan pada
pohon, lebih dari sekedar keuntungan dan nilai guna. Ada yang gagal kita baca,
ada kegaiban yang gagal kita rasakan. Ada pesan dalam sepoi angin yang
menggoyang dedaunan yang gagal kita maknai dalam keseharian kita. Ada keindahan
yang selalu terlewati di sana. Ada yang harus kita temukan kembali dari sekitar
kita. Sesuatu yang telah lama tidak kita baca hingga kita lupa cara membacanya.
Ada yang harus kita pelajari kembali cara membacanya.
No comments:
Post a Comment