Wednesday, 4 July 2012

Belajar Membaca

Mirza Adrian NP

Masihkah Anda ingat saat Anda kecil dan baru mulai belajar membaca? Saat kita baru bisa mengeja, menyuarakan aksara sesuai dengan ajaran lingkungan kita? Bahwa huruf “A” berbunyi “ā” bukan “ĭ”. Kemudian kita belajar untuk merangkai huruf-huruf itu menjadi sebuah kata. Kata kemudian dirangkai menjadi kalimat. Lalu kita mulai berkenalan dengan Ibu Budi yang memasak di dapur, Bapak Budi yang bekerja di kantor, dan Budi yang suka bermain bola. Seiring dengan waktu, hal-hal yang kita baca semakin kompleks. Buku-buku sudah banyak yang habis kita baca, mulai dari buku pelajaran hingga novel-novel sudah ditamatkan. Beberapa bahkan berkali-berkali. Namun sudahkah kita membaca?

Kita bisa membaca karena manusia sebagai makhluk yang berakal mempunyai kemampuan untuk memproduksi dan mengonsumsi simbol. Selain itu, manusia juga telah menciptakan bahasa lisan dan tulisan sebagai medium untuk berkomunikasi, untuk menyampaikan simbol yang sudah diproduksi kepada penerima yang akan mengonsumsi. Sehingga proses membaca pada dasarnya adalah sebuah proses mengartikan dan memaknai, mengubah simbol-simbol, dalam kasus ini adalah aksara, menjadi suatu abstraksi yang bermakna di dalam kepala kita. Namun, simbol tidak terbatas hanya pada aksara, segala sesuatu yang bisa dimaknai lebih dari penampakan fisiknya adalah simbol. Dengan kemampuan kita untuk memproduksi dan mengonsumsi simbol, kita bisa membuat segala sesuatu menjadi simbol dan kita juga bisa membaca segala sesuatu sebagai simbol. Contohnya, sebuah garukan di kepala bisa diartikan sebagai kebingungan, bukan sekedar gatal yang harus digaruk. Maka dengan cara yang sama, kita seharusnya juga bisa membaca pohon, angin, daun, langit, atau apapun di sekitar kita. Akan tetapi, kita sepertinya sudah kehilangan kemampuan kita untuk membaca lingkungan di sekitar kita.

Zaman modern telah meredam kemampuan kita membaca lingkungan sekitar kita. Zaman ini telah menutup pembacaan manusia terhadap lingkungan menjadi sebuah pembacaan yang mekanistis, terstruktur, dan rasional. Tak ada lagi tempat untuk hal-hal yang gaib, spontan, dan irasional. Padahal sebagian dari kemanusiaan kita terletak di dalam kegaiban, spontanitas, dan irasionalitas itu. Hal ini wajar karena pengalaman manusia modern tentang lingkungan adalah sebuah pengalaman eksploitasi dimana alam adalah sumber daya yang diolah menjadi pemenuh kebutuhan manusia. Maka, ketika kita melihat pohon, yang kita baca adalah nilai guna dari sebuah pohon. Karena secara rasional, sebuah pohon akan lebih baik (baca: menguntungkan) jika dibuat menjadi mebel atau minimal penghias taman.

Padahal ada pemaknaan lebih yang bisa kita dapatkan pada pohon, lebih dari sekedar keuntungan dan nilai guna. Ada yang gagal kita baca, ada kegaiban yang gagal kita rasakan. Ada pesan dalam sepoi angin yang menggoyang dedaunan yang gagal kita maknai dalam keseharian kita. Ada keindahan yang selalu terlewati di sana. Ada yang harus kita temukan kembali dari sekitar kita. Sesuatu yang telah lama tidak kita baca hingga kita lupa cara membacanya. Ada yang harus kita pelajari kembali cara membacanya.

Selamat membaca!

No comments:

Post a Comment