Mirza
Adrian NP
11/05/2014
Dari sejak saya kuliah, saya selalu tertarik dengan
ilmu transportasi. Oleh sebab itu saya mengambil Transportasi sebagai subjur
saya di Teknik Sipil ITB. Meskipun tema Tugas Akhir saya lebih membahas mengenai struktur
perkerasan, saya tetap memiliki ketertarikan yang besar terhadap sistem
transportasi. Oleh sebab itu setelah kelulusan saya pada bulan April 2013, saya
bekerja di Asdep Transportasi Kemenko Perekonomian RI sebagai tenaga honorer
sebelum akhirnya pindah. Pada bulan Oktober 2013, saya bekerja di sebuah
perusahaan BUMD yang telah ditunjuk untuk membangun prasarana Mass Rapid Transit di Jakarta oleh Pemda
DKI Jakarta. Saya cukup bangga bekerja disini karena saya merasa menjadi bagian
dari sebuah pembentukan sejarah transportasi di Indonesia. Dan selain itu, saya
juga merasa menjadi bagian dari solusi kemacetan Jakarta.
Banyak orang yang berharap pada MRT Jakarta. Hal ini
bisa dilihat dari pertanyaan yang saya terima setiap kali saya menyebutkan
pekerjaan saya: "Kalo habis ada MRT, Jakarta bakalan tetep macet ga?"
Saya selalu menjawab pertanyaan ini dengan mudah: "Iya, Jakarta pasti akan
tetap macet meskipun sudah ada MRT Jakarta". Saya menjawab seperti itu
bukan sebagai upaya menjatuhkan MRT Jakarta namun sebagai upaya menyadarkan
setiap orang di Jakarta bahwa kemacetan di Jakarta bukanlah sebuah permasalahan
infrastruktur. Namun sesuatu yang jauh lebih besar dari itu.
Sejauh ini, Pemda DKI Jakarta telah berupaya banyak
untuk menyelesaikan kemacetan Jakarta. Mulai dari penambahan ruas jalan, pelebaran
lebar jalan, pembangunan jalan layang, mengembangkan Trans Jakarta dan kereta
commuter line, hingga memberlakukan PNS wajib menggunakan kendaraan umum pada
hari Jumat pertama di tiap bulan. Namun semua upaya tersebut terbukti gagal
dalam menyelesaikan kemacetan Jakarta. Kota ini akan terus bertambah macet.
Bahkan, selama saya tinggal di kota ini, hanya ada satu kejadian yang telah
terbukti mampu menyelesaikan kemacetan Jakarta berkali-kali: IDUL FITRI. Dari
sini mungkin kita bisa menyimpulkan bahwa kemacetan Jakarta hanya bisa
diselesaikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Atau kita juga bisa menyimpulkan bahwa
permasalahan kemacetan Jakarta bukanlah permasalahan infrastruktur atau
kebijakan daerah.
Sebagai sebuah kota, Jakarta adalah suatu kota yang
memiliki fasilitas berlebih. Hingga saat ini, saya belum pernah menemukan kota
dengan semua jalan arterinya memiliki jumlah lajur lebih dari 4 lajur per arah.
Dengan jumlah lajur itu, secara teori semua jalur arteri di Jakarta seharusnya
bisa menampung arus kendaraan sebesar kurang lebih 8000 mobil per jam per arah –
kapasitas yang bisa dibilang sangat besar. Namun, fakta bahwa Jakarta selalu
macet setiap hari menunjukkan bahwa kapasitas jalan ini masih sangat kurang.
Hal ini wajar mengingat pengguna jalan Jakarta tidak
hanya berasal dari Jakarta namun dari banyak kota satelit di sekitarnya.
Jakarta adalah bagian dan tujuan utama dari sebuah megapolitan yang dinamakan
Jabodetabek (Jakarta – Bogor – Tangerang – Depok - Bekasi) dan sekarang juga
ditambah dengan Karawang dan Tangerang Selatan. Hebatnya, area seluas 6400 km2
ini, memiliki populasi 28 juta orang! Jika kita bandingkan dengan negara lain,
jumlah ini setara dengan jumlah populasi Malaysia atau dua kali lipat jumlah
populasi Belgia atau lima kali lipat jumlah populasi Denmark. Jumlah populasi
tersebut menghasilkan 59 juta pergerakan setiap harinya dengan 20.4 juta
pergerakan terjadi di Jakarta. Lahan di Jakarta sudah tidak akan bisa jika kita
ubah menjadi jalan untuk menampung pergerakan tersebut. Pembangunan
transportasi massal juga tidak akan mampu menampung jumlah tersebut. Bahkan MRT
Jakarta hanya mampu menampung 200.000 penumpang per hari, hanya 1% dari jumlah
pergerakan di Jakarta atau 0.33% dari jumlah pegerakan di Jabodetabek.
Gambar 1. Jumlah Pergerakan
Jabodetabek dalam Juta
Sumber JABODETABEK Public Transportation Policy Implementation Strategy (JAPTraPIS)2011
Lantas, apa yang benar-benar bisa menjadi solusi dari
kemacetan Jakarta sekarang?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus mengingat
bahwa secara definisi transportasi adalah pergerakan orang atau barang dari
suatu tempat ke tempat lain. Dan pergerakan bersifat derivatif karena manusia
hanya akan bergerak ketika kita sedang berupaya untuk memenuhi suatu kebutuhan.
Karena sifatnya yang demikian, kebutuhan akan transportasi disebut sebagai
kebutuhan derivatif. Hal ini wajar mengingat pada dasarnya orang malas bergerak
karena pergerakan membutuhkan energi dan waktu. Sehingga, tanpa adanya suatu
kebutuhan yang harus diselesaikan di tempat lain, orang tidak akan melakukan
pergerakan dan tidak membutuhkan transportasi. Oleh karena itu, permasalahan
transportasi bukanlah sebuah permasalahan yang berdiri sendiri namun sebuah
permasalahan yang timbul akibat adanya permasalahan lain. Dari sini saya
menyimpulkan bahwa kemacetan bukanlah permasalahan utama tapi hanya gejala yang
terlihat dari permasalahan yang lebih mendalam.
Dengan demikian, sebelum bisa menjawab pertanyaan
mengenai solusi kemacetan Jakarta, sebelumnya kita harus bertanya apa masalah
utama yang akhirnya menyebabkan kemacetan Jakarta? Simpelnya, seperti semua
kegagalan teknik sipil yang lain, karena beban melebihi kapasitas. Dalam kasus ini,
kemacetan terjadi akibat beban arus lalu lintas melebihi kapasitas yang bisa
ditampung oleh jalan. Dan karena arus lalu lintas terjadi akibat pergerakan
manusia, maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan yang sedang dihadapi
adalah kota ini adalah jumlah populasi yang sudah terlalu tinggi dan sudah
tidak bisa lagi ditampung oleh infrastruktur kota ini.
Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, kawasan
Jabodetabek memiliki jumlah populasi 28 juta orang dan hampir setengahnya
berada di Jakarta. Jumlah ini tentunya akan terus bertambah setiap tahunnya
akibat kelahiran dan migrasi. Setiap tahunnya, warga Jakarta bertambah 2 juta
orang dari kelahiran dan lebih dari 1 juta dari pendatang yang mencoba mencari
kehidupan yang lebih baik. Bahkan berdasarkan studi World Urbanization Prospects 2014 yang dilakukan oleh PBB, populasi Jakarta akan mencapai hampir 14 juta di tahun 2030. Dengan pertambahan penduduk yang demikian, tanpa
pengendalian populasi yang berjalan dengan baik, kota ini akan membunuh dirinya
sendiri.
Tabel 1 Populasi DKI Jakarta
Populasi
|
1971
|
1980
|
1990
|
1995
|
2000
|
2010
|
DKI Jakarta
|
4,579,303
|
6,503,449
|
8,259,266
|
9,112,652
|
8,389,443
|
9,607,787
|
Tabel 2 Jumlah Migrasi Seumur Hidup Provinsi DKI Jakarta
Migrasi
|
1971
|
1980
|
1985
|
1990
|
1995
|
2000
|
2005
|
2010
|
Masuk
|
1,821,833
|
2,599,367
|
3,079,693
|
3,170,215
|
3,371,384
|
3,541,972
|
3,337,161
|
4,077,515
|
Keluar
|
132,215
|
400,767
|
593,936
|
1,052,234
|
1,589,285
|
1,836,664
|
2,045,630
|
3,000,081
|
Total
|
1,689,618
|
2,198,600
|
2,485,757
|
2,117,981
|
1,782,099
|
1,705,308
|
1,291,531
|
1,077,434
|
Sumber Badan
Pusat Statistik Indonesia
Namun demikian, pengendalian populasi bukanlah sebuah permasalahan yang simpel. Dalam sebuah esai seminal yang ditulis oleh Garrett Hardin berjudul The Tragedy of the Commons, Hardin menulis dengan sangat singkat dalam abstraknya bahwa permasalahan populasi tidak memiliki solusi teknis, namun membutuhkan perubahan fundamental pada moralitas. Maksud dari kalimat ini adalah pertumbuhan populasi bukan merupakan permasalahan teknis tapi permasalahan nilai yang dianut dalam masyarakat terkait penggunaan sumber daya yang terdapat pada lingkungannya. Permasalahan pertumbuhan penduduk terjadi karena masing-masing individu berperilaku secara rasional dan memaksimalkan keuntungan pribadi tanpa menyadari keterbatasan sumber daya yang ada. Akibatnya, secara agregat, masing-masing individu memberikan dampak negatif terhadap individu lainnya dan penggunaan berlebih sumber daya yang ada berdampak negatif terhadap masyarakat secara keseluruhan. Solusi yang ditawarkan dalam esai yang ditulis oleh Hardin cukup ekstrim, yaitu dengan membatasi kebebasan manusia untuk berkembang biak sehingga Jebakan Malthus dapat terhindarkan.
Tapi tentunya, pembatasan kebebasan untuk berkembang biak - selain dapat diperdebatkan secara etika - tidak menjadi solusi di Jakarta karena pertumbuhan penduduk di kota ini tidak hanya terjadi akibat kelahiran tapi juga terjadi akibat perpindahan penduduk yang sangat besar - lihat Tabel 2. Setiap tahunnya, tercatat sekitar satu juta orang yang pindah ke Jakarta dari seluruh penjuru Indonesia. Mengingat pencatatan sipil perpindahan penduduk sangat sulit dilakukan kepada semua imigran, Jumlah penduduk yang pindah ke Jakarta pastinya lebih besar dari yang tercatat secara resmi. Pertumbuhan penduduk secara alami dan perpindahan penduduk dari daerah lain membuat jumlah penduduk di Jakarta memberikan beban yang melebihi kemampuan infrastruktur yang ada. Besarnya laju urbanisasi ke Jakarta adalah hal yang wajar mengingat Jakarta memberikan kesempatan ekonomi yang lebih baik daripada daerah lain di Indonesia. Sehingga pindah ke Jakarta merupakan aksi yang sangat rasional untuk perbaikan taraf hidup. Namun, ketika satu juta orang berpindah ke Jakarta setiap tahunnya, aksi rasional ini secara agregat menjadi tidak rasional karena dengan terbatasnya sumber daya ruang di kota ini penambahan penduduk menambah ketidaknyamanan penduduk lainnya. Atau dengan kata lain, perpindahan penduduk yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dirinya mengakibatkan penurunan kualitas hidup penduduk lainnya.
Dalam proses urbanisasi, Jakarta memiliki faktor tarik yang sangat besar. Hal ini wajar mengingat Jakarta merupakan ibukota sekaligus pusat ekonomi sehingga terjadi ketimpangan pembangunan dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia yang menyebabkan pemusatan perputaran uang di kota ini. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan data Nilai Konstruksi yang diselesaikan menurut Provinsi pada tahun 2012 dan perbandingan data PDRB masing-masing Provinsi di Indonesia. Pada tahun 2012, Kota Jakarta menyelesaikan 25% dari nilai konstruksi nasional dan menghasilkan dari 16.39% PDB Indonesia - lihat Gambar 2. Jika dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, nilai PDRB DKI Jakarta 160 kali lipat lebih besar dibandingkan provinsi dengan PDRB terendah atau hampir setara dengan penjumlahan nilai PDRB yang dihasilkan oleh 22 provinsi di Indonesia. Maka wajar jika penduduk dari berbagai penjuru di Indonesia berpindah ke Jakarta dan mengakibatkan overpopulasi di kota ini. Dari sini kita dapat melihat bahwa kemacetan Jakarta hanyalah gejala yang tampak dari permasalahan yang lebih mendalam, yaitu ketidakmerataan pembangunan. Kemacetan Jakarta adalah konsekuensi logis dari ketidakmerataan pembangunan di Indonesia.
Jika permasalahan utama dari kemacetan Jakarta adalah ketimpangan pembangunan di Indonesia, lantas apa yang benar-benar bisa menjadi solusi dari kemacetan Jakarta? Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, selama saya tinggal di Jakarta, hanya ada satu kejadian yang telah terbukti mampu menyelesaikan kemacetan Jakarta berkali-kali, yaitu IDUL FITRI. Kejadian ini unik secara kultural di Indonesia karena setiap menjelang Idul Fitri, terjadi sebuah perpindahan besar-besaran penduduk kota ke desa. Sebuah peristiwa yang disebut MUDIK. Pada saat semua orang mudik, kota-kota seakan ditinggalkan oleh penghuninya dan pada saat inilah kita bisa merasakan keindahan Jakarta secara penuh. Pada saat ini, masalah utama dari kota Jakarta terselesaikan, yaitu populasi yang terlalu banyak. Dengan demikian, satu-satunya solusi kemacetan Jakarta yang menurut saya dapat diterima adalah Idul Fitri yang berkelanjutan. Namun bagaimana hal ini dapat diimplementasikan?
Tentunya kita tidak bisa melarang perpindahan orang dalam upaya mereka mencari penghidupan yang layak namun kita juga tidak bisa memungkiri bahwa perpindahan penduduk ini berdampak negatif terhadap kualitas hidup di Jakarta dan keberlangsungan perekonomian di daerah lain. Sehingga satu-satunya cara untuk mengurangi perpindahan penduduk adalah dengan mengurangi faktor tarik yang terjadi akibat ketimpangan aktivitas ekonomi di Jakarta melalui pemerataan pembangunan di Indonesia. Dengan begitu, penduduk yang tadinya pindah ke Jakarta mungkin akan menetap di kampung halamannya dan 'mudik' setiap hari. Atau mungkin, jika pembangunan ekonomi tidak bisa dilakukan oleh provinsi-provinsi lain di Indonesia, Jakarta dapat membantu perkembangan provinsi lain dengan melakukan subsidi silang kepada provinsi lain di Indonesia. Hal ini mungkin akan ditolak oleh banyak pihak karena tentunya akan berdampak pada perkembangan kota Jakarta. Namun, menurut saya, satu-satunya cara kota ini berkembang adalah dengan tidak berkembang untuk mengurangi arus perpindahan penduduk dan menambah kualitas hidup penduduk yang ada di Jakarta. Hal ini mungkin sulit diterima, tapi seperti yang dibilang oleh Hardin, permasalahan populasi tidak memiliki solusi teknis, namun membutuhkan perubahan fundamental pada nilai-nilai moralitas.
Tapi tentunya, pembatasan kebebasan untuk berkembang biak - selain dapat diperdebatkan secara etika - tidak menjadi solusi di Jakarta karena pertumbuhan penduduk di kota ini tidak hanya terjadi akibat kelahiran tapi juga terjadi akibat perpindahan penduduk yang sangat besar - lihat Tabel 2. Setiap tahunnya, tercatat sekitar satu juta orang yang pindah ke Jakarta dari seluruh penjuru Indonesia. Mengingat pencatatan sipil perpindahan penduduk sangat sulit dilakukan kepada semua imigran, Jumlah penduduk yang pindah ke Jakarta pastinya lebih besar dari yang tercatat secara resmi. Pertumbuhan penduduk secara alami dan perpindahan penduduk dari daerah lain membuat jumlah penduduk di Jakarta memberikan beban yang melebihi kemampuan infrastruktur yang ada. Besarnya laju urbanisasi ke Jakarta adalah hal yang wajar mengingat Jakarta memberikan kesempatan ekonomi yang lebih baik daripada daerah lain di Indonesia. Sehingga pindah ke Jakarta merupakan aksi yang sangat rasional untuk perbaikan taraf hidup. Namun, ketika satu juta orang berpindah ke Jakarta setiap tahunnya, aksi rasional ini secara agregat menjadi tidak rasional karena dengan terbatasnya sumber daya ruang di kota ini penambahan penduduk menambah ketidaknyamanan penduduk lainnya. Atau dengan kata lain, perpindahan penduduk yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dirinya mengakibatkan penurunan kualitas hidup penduduk lainnya.
Dalam proses urbanisasi, Jakarta memiliki faktor tarik yang sangat besar. Hal ini wajar mengingat Jakarta merupakan ibukota sekaligus pusat ekonomi sehingga terjadi ketimpangan pembangunan dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia yang menyebabkan pemusatan perputaran uang di kota ini. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan data Nilai Konstruksi yang diselesaikan menurut Provinsi pada tahun 2012 dan perbandingan data PDRB masing-masing Provinsi di Indonesia. Pada tahun 2012, Kota Jakarta menyelesaikan 25% dari nilai konstruksi nasional dan menghasilkan dari 16.39% PDB Indonesia - lihat Gambar 2. Jika dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, nilai PDRB DKI Jakarta 160 kali lipat lebih besar dibandingkan provinsi dengan PDRB terendah atau hampir setara dengan penjumlahan nilai PDRB yang dihasilkan oleh 22 provinsi di Indonesia. Maka wajar jika penduduk dari berbagai penjuru di Indonesia berpindah ke Jakarta dan mengakibatkan overpopulasi di kota ini. Dari sini kita dapat melihat bahwa kemacetan Jakarta hanyalah gejala yang tampak dari permasalahan yang lebih mendalam, yaitu ketidakmerataan pembangunan. Kemacetan Jakarta adalah konsekuensi logis dari ketidakmerataan pembangunan di Indonesia.
Gambar 2 Perbandingan Nilai Konstruksi dan PDRB per Provinsi di Indonesia tahun 2012
Sumber Badan Pusat Statistik Indonesia
Jika permasalahan utama dari kemacetan Jakarta adalah ketimpangan pembangunan di Indonesia, lantas apa yang benar-benar bisa menjadi solusi dari kemacetan Jakarta? Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, selama saya tinggal di Jakarta, hanya ada satu kejadian yang telah terbukti mampu menyelesaikan kemacetan Jakarta berkali-kali, yaitu IDUL FITRI. Kejadian ini unik secara kultural di Indonesia karena setiap menjelang Idul Fitri, terjadi sebuah perpindahan besar-besaran penduduk kota ke desa. Sebuah peristiwa yang disebut MUDIK. Pada saat semua orang mudik, kota-kota seakan ditinggalkan oleh penghuninya dan pada saat inilah kita bisa merasakan keindahan Jakarta secara penuh. Pada saat ini, masalah utama dari kota Jakarta terselesaikan, yaitu populasi yang terlalu banyak. Dengan demikian, satu-satunya solusi kemacetan Jakarta yang menurut saya dapat diterima adalah Idul Fitri yang berkelanjutan. Namun bagaimana hal ini dapat diimplementasikan?
No comments:
Post a Comment