Monday 11 May 2015

Kemacetan Jakarta

Mirza Adrian NP
11/05/2014

Dari sejak saya kuliah, saya selalu tertarik dengan ilmu transportasi. Oleh sebab itu saya mengambil Transportasi sebagai subjur saya di Teknik Sipil ITB. Meskipun tema Tugas Akhir saya lebih membahas mengenai struktur perkerasan, saya tetap memiliki ketertarikan yang besar terhadap sistem transportasi. Oleh sebab itu setelah kelulusan saya pada bulan April 2013, saya bekerja di Asdep Transportasi Kemenko Perekonomian RI sebagai tenaga honorer sebelum akhirnya pindah. Pada bulan Oktober 2013, saya bekerja di sebuah perusahaan BUMD yang telah ditunjuk untuk membangun prasarana Mass Rapid Transit di Jakarta oleh Pemda DKI Jakarta. Saya cukup bangga bekerja disini karena saya merasa menjadi bagian dari sebuah pembentukan sejarah transportasi di Indonesia. Dan selain itu, saya juga merasa menjadi bagian dari solusi kemacetan Jakarta.

Banyak orang yang berharap pada MRT Jakarta. Hal ini bisa dilihat dari pertanyaan yang saya terima setiap kali saya menyebutkan pekerjaan saya: "Kalo habis ada MRT, Jakarta bakalan tetep macet ga?" Saya selalu menjawab pertanyaan ini dengan mudah: "Iya, Jakarta pasti akan tetap macet meskipun sudah ada MRT Jakarta". Saya menjawab seperti itu bukan sebagai upaya menjatuhkan MRT Jakarta namun sebagai upaya menyadarkan setiap orang di Jakarta bahwa kemacetan di Jakarta bukanlah sebuah permasalahan infrastruktur. Namun sesuatu yang jauh lebih besar dari itu.

Sejauh ini, Pemda DKI Jakarta telah berupaya banyak untuk menyelesaikan kemacetan Jakarta. Mulai dari penambahan ruas jalan, pelebaran lebar jalan, pembangunan jalan layang, mengembangkan Trans Jakarta dan kereta commuter line, hingga memberlakukan PNS wajib menggunakan kendaraan umum pada hari Jumat pertama di tiap bulan. Namun semua upaya tersebut terbukti gagal dalam menyelesaikan kemacetan Jakarta. Kota ini akan terus bertambah macet. Bahkan, selama saya tinggal di kota ini, hanya ada satu kejadian yang telah terbukti mampu menyelesaikan kemacetan Jakarta berkali-kali: IDUL FITRI. Dari sini mungkin kita bisa menyimpulkan bahwa kemacetan Jakarta hanya bisa diselesaikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Atau kita juga bisa menyimpulkan bahwa permasalahan kemacetan Jakarta bukanlah permasalahan infrastruktur atau kebijakan daerah.

Sebagai sebuah kota, Jakarta adalah suatu kota yang memiliki fasilitas berlebih. Hingga saat ini, saya belum pernah menemukan kota dengan semua jalan arterinya memiliki jumlah lajur lebih dari 4 lajur per arah. Dengan jumlah lajur itu, secara teori semua jalur arteri di Jakarta seharusnya bisa menampung arus kendaraan sebesar kurang lebih 8000 mobil per jam per arah – kapasitas yang bisa dibilang sangat besar. Namun, fakta bahwa Jakarta selalu macet setiap hari menunjukkan bahwa kapasitas jalan ini masih sangat kurang.

Hal ini wajar mengingat pengguna jalan Jakarta tidak hanya berasal dari Jakarta namun dari banyak kota satelit di sekitarnya. Jakarta adalah bagian dan tujuan utama dari sebuah megapolitan yang dinamakan Jabodetabek (Jakarta – Bogor – Tangerang – Depok - Bekasi) dan sekarang juga ditambah dengan Karawang dan Tangerang Selatan. Hebatnya, area seluas 6400 km2 ini, memiliki populasi 28 juta orang! Jika kita bandingkan dengan negara lain, jumlah ini setara dengan jumlah populasi Malaysia atau dua kali lipat jumlah populasi Belgia atau lima kali lipat jumlah populasi Denmark. Jumlah populasi tersebut menghasilkan 59 juta pergerakan setiap harinya dengan 20.4 juta pergerakan terjadi di Jakarta. Lahan di Jakarta sudah tidak akan bisa jika kita ubah menjadi jalan untuk menampung pergerakan tersebut. Pembangunan transportasi massal juga tidak akan mampu menampung jumlah tersebut. Bahkan MRT Jakarta hanya mampu menampung 200.000 penumpang per hari, hanya 1% dari jumlah pergerakan di Jakarta atau 0.33% dari jumlah pegerakan di Jabodetabek.


Gambar 1. Jumlah Pergerakan Jabodetabek dalam Juta
Sumber JABODETABEK Public Transportation Policy Implementation Strategy (JAPTraPIS)2011

Lantas, apa yang benar-benar bisa menjadi solusi dari kemacetan Jakarta sekarang?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus mengingat bahwa secara definisi transportasi adalah pergerakan orang atau barang dari suatu tempat ke tempat lain. Dan pergerakan bersifat derivatif karena manusia hanya akan bergerak ketika kita sedang berupaya untuk memenuhi suatu kebutuhan. Karena sifatnya yang demikian, kebutuhan akan transportasi disebut sebagai kebutuhan derivatif. Hal ini wajar mengingat pada dasarnya orang malas bergerak karena pergerakan membutuhkan energi dan waktu. Sehingga, tanpa adanya suatu kebutuhan yang harus diselesaikan di tempat lain, orang tidak akan melakukan pergerakan dan tidak membutuhkan transportasi. Oleh karena itu, permasalahan transportasi bukanlah sebuah permasalahan yang berdiri sendiri namun sebuah permasalahan yang timbul akibat adanya permasalahan lain. Dari sini saya menyimpulkan bahwa kemacetan bukanlah permasalahan utama tapi hanya gejala yang terlihat dari permasalahan yang lebih mendalam.

Dengan demikian, sebelum bisa menjawab pertanyaan mengenai solusi kemacetan Jakarta, sebelumnya kita harus bertanya apa masalah utama yang akhirnya menyebabkan kemacetan Jakarta? Simpelnya, seperti semua kegagalan teknik sipil yang lain, karena beban melebihi kapasitas. Dalam kasus ini, kemacetan terjadi akibat beban arus lalu lintas melebihi kapasitas yang bisa ditampung oleh jalan. Dan karena arus lalu lintas terjadi akibat pergerakan manusia, maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan yang sedang dihadapi adalah kota ini adalah jumlah populasi yang sudah terlalu tinggi dan sudah tidak bisa lagi ditampung oleh infrastruktur kota ini.


Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, kawasan Jabodetabek memiliki jumlah populasi 28 juta orang dan hampir setengahnya berada di Jakarta. Jumlah ini tentunya akan terus bertambah setiap tahunnya akibat kelahiran dan migrasi. Setiap tahunnya, warga Jakarta bertambah 2 juta orang dari kelahiran dan lebih dari 1 juta dari pendatang yang mencoba mencari kehidupan yang lebih baik. Bahkan berdasarkan studi World Urbanization Prospects 2014 yang dilakukan oleh PBB, populasi Jakarta akan mencapai hampir 14 juta di tahun 2030. Dengan pertambahan penduduk yang demikian, tanpa pengendalian populasi yang berjalan dengan baik, kota ini akan membunuh dirinya sendiri. 

Tabel 1 Populasi DKI Jakarta
Populasi
1971
1980
1990
1995
2000
2010
DKI Jakarta
4,579,303
6,503,449
8,259,266
9,112,652
8,389,443
9,607,787

Tabel 2 Jumlah Migrasi Seumur Hidup Provinsi DKI Jakarta
Migrasi
1971
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010
 Masuk
1,821,833
2,599,367
3,079,693
3,170,215
3,371,384
3,541,972
3,337,161
4,077,515
 Keluar
132,215
400,767
593,936
1,052,234
1,589,285
1,836,664
2,045,630
3,000,081
 Total
1,689,618
2,198,600
2,485,757
2,117,981
1,782,099
1,705,308
1,291,531
1,077,434
Sumber Badan Pusat Statistik Indonesia

Namun demikian, pengendalian populasi bukanlah sebuah permasalahan yang simpel. Dalam sebuah esai seminal yang ditulis oleh Garrett Hardin berjudul The Tragedy of the Commons, Hardin menulis dengan sangat singkat dalam abstraknya bahwa permasalahan populasi tidak memiliki solusi teknis, namun membutuhkan perubahan fundamental pada moralitas. Maksud dari kalimat ini adalah pertumbuhan populasi bukan merupakan permasalahan teknis tapi permasalahan nilai yang dianut dalam masyarakat terkait penggunaan sumber daya yang terdapat pada lingkungannya. Permasalahan pertumbuhan penduduk terjadi karena masing-masing individu berperilaku secara rasional dan memaksimalkan keuntungan pribadi tanpa menyadari keterbatasan sumber daya yang ada. Akibatnya, secara agregat, masing-masing individu memberikan dampak negatif terhadap individu lainnya dan penggunaan berlebih sumber daya yang ada berdampak negatif terhadap masyarakat secara keseluruhan. Solusi yang ditawarkan dalam esai yang ditulis oleh Hardin cukup ekstrim, yaitu dengan membatasi kebebasan manusia untuk berkembang biak sehingga Jebakan Malthus dapat terhindarkan.

Tapi tentunya, pembatasan kebebasan untuk berkembang biak - selain dapat diperdebatkan secara etika - tidak menjadi solusi di Jakarta karena pertumbuhan penduduk di kota ini tidak hanya terjadi akibat kelahiran tapi juga terjadi akibat perpindahan penduduk yang sangat besar - lihat Tabel 2. Setiap tahunnya, tercatat sekitar satu juta orang yang pindah ke Jakarta dari seluruh penjuru Indonesia. Mengingat pencatatan sipil perpindahan penduduk sangat sulit dilakukan kepada semua imigran, Jumlah penduduk yang pindah ke Jakarta pastinya lebih besar dari yang tercatat secara resmi. Pertumbuhan penduduk secara alami dan perpindahan penduduk dari daerah lain membuat jumlah penduduk di Jakarta memberikan beban yang melebihi kemampuan infrastruktur yang ada. Besarnya laju urbanisasi ke Jakarta adalah hal yang wajar mengingat Jakarta memberikan kesempatan ekonomi yang lebih baik daripada daerah lain di Indonesia. Sehingga pindah ke Jakarta merupakan aksi yang sangat rasional untuk perbaikan taraf hidup. Namun, ketika satu juta orang berpindah ke Jakarta setiap tahunnya, aksi rasional ini secara agregat menjadi tidak rasional karena dengan terbatasnya sumber daya ruang di kota ini penambahan penduduk menambah ketidaknyamanan penduduk lainnya. Atau dengan kata lain, perpindahan penduduk yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dirinya mengakibatkan penurunan kualitas hidup penduduk lainnya.

Dalam proses urbanisasi, Jakarta memiliki faktor tarik yang sangat besar. Hal ini wajar mengingat Jakarta merupakan ibukota sekaligus pusat ekonomi sehingga terjadi ketimpangan pembangunan dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia yang menyebabkan pemusatan perputaran uang di kota ini. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan data Nilai Konstruksi yang diselesaikan menurut Provinsi pada tahun 2012 dan perbandingan data PDRB masing-masing Provinsi di Indonesia. Pada tahun 2012, Kota Jakarta menyelesaikan 25% dari nilai konstruksi  nasional dan menghasilkan dari 16.39% PDB Indonesia - lihat Gambar 2. Jika dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, nilai PDRB DKI Jakarta 160 kali lipat lebih besar dibandingkan provinsi dengan PDRB terendah atau hampir setara dengan penjumlahan nilai PDRB yang dihasilkan oleh 22 provinsi di Indonesia. Maka wajar jika penduduk dari berbagai penjuru di Indonesia berpindah ke Jakarta dan mengakibatkan overpopulasi di kota ini. Dari sini kita dapat melihat bahwa kemacetan Jakarta hanyalah gejala yang tampak dari permasalahan yang lebih mendalam, yaitu ketidakmerataan pembangunan. Kemacetan Jakarta adalah konsekuensi logis dari ketidakmerataan pembangunan di Indonesia.


Gambar 2 Perbandingan Nilai Konstruksi dan PDRB per Provinsi di Indonesia tahun 2012
Sumber Badan Pusat Statistik Indonesia

Jika permasalahan utama dari kemacetan Jakarta adalah ketimpangan pembangunan di Indonesia, lantas apa yang benar-benar bisa menjadi solusi dari kemacetan Jakarta? Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, selama saya tinggal di Jakarta, hanya ada satu kejadian yang telah terbukti mampu menyelesaikan kemacetan Jakarta berkali-kali, yaitu IDUL FITRI. Kejadian ini unik secara kultural di Indonesia karena setiap menjelang Idul Fitri, terjadi sebuah perpindahan besar-besaran penduduk kota ke desa. Sebuah peristiwa yang disebut MUDIK. Pada saat semua orang mudik, kota-kota seakan ditinggalkan oleh penghuninya dan pada saat inilah kita bisa merasakan keindahan Jakarta secara penuh. Pada saat ini, masalah utama dari kota Jakarta terselesaikan, yaitu populasi yang terlalu banyak. Dengan demikian, satu-satunya solusi kemacetan Jakarta yang menurut saya dapat diterima adalah Idul Fitri yang berkelanjutan. Namun bagaimana hal ini dapat diimplementasikan?

Tentunya kita tidak bisa melarang perpindahan orang dalam upaya mereka mencari penghidupan yang layak namun kita juga tidak bisa memungkiri bahwa perpindahan penduduk ini berdampak negatif terhadap kualitas hidup di Jakarta dan keberlangsungan perekonomian di daerah lain. Sehingga satu-satunya cara untuk mengurangi perpindahan penduduk adalah dengan mengurangi faktor tarik yang terjadi akibat ketimpangan aktivitas ekonomi di Jakarta melalui pemerataan pembangunan di Indonesia. Dengan begitu, penduduk yang tadinya pindah ke Jakarta mungkin akan menetap di kampung halamannya dan 'mudik' setiap hari. Atau mungkin, jika pembangunan ekonomi tidak bisa dilakukan oleh provinsi-provinsi lain di Indonesia, Jakarta dapat membantu perkembangan provinsi lain dengan melakukan subsidi silang kepada provinsi lain di Indonesia. Hal ini mungkin akan ditolak oleh banyak pihak karena tentunya akan berdampak pada perkembangan kota Jakarta. Namun, menurut saya, satu-satunya cara kota ini berkembang adalah dengan tidak berkembang untuk mengurangi arus perpindahan penduduk dan menambah kualitas hidup penduduk yang ada di Jakarta. Hal ini mungkin sulit diterima, tapi seperti yang dibilang oleh Hardin, permasalahan populasi tidak memiliki solusi teknis, namun membutuhkan perubahan fundamental pada nilai-nilai moralitas.

No comments:

Post a Comment