Thursday, 12 November 2015

Polisi Tidur

Mirza Adrian NP
18 September 2015

Bagi pengendara motor, untuk menghindari kemacetan di jalan-jalan utama Ibukota, salah satu alternatif yang bisa diambil adalah menggunakan jalan-jalan kecil kota Jakarta yang saling terhubung hingga penggunaan jalan utama tidak terhindarkan. Apabila opsi ini digunakan, niscaya akan menemukan banyak gundukan di jalan yang memaksa pengendara tersebut untuk mengurangi kecepatan kendaraan. Gundukan-gundukan tersebut dinamakan Polisi Tidur.

Dalam ilmu transportasi, gundukan ini biasa disebut Speed Bump dan memang berfungsi untuk memperlambat laju kendaraan (traffic calming) sehingga sering dipasang di area perumahan atau pos keamanan. Tapi entah kenapa nama Polisi Tidur digunakan oleh masyarakat luas untuk gundukan yang melintang di jalan-jalan Jakarta. Mungkin karena kegunaannya adalah  untuk "mengatur" kecepatan kendaraan seperti polisi dan posisinya horizontal atau tertidur. 

Di Indonesia, polisi tidur biasanya dibangun oleh warga atau penghuni untuk menghindari kecelakaan lalu lintas di area perumahan atau jalan depan rumah mereka. Fungsi utamanya, biasanya adalah untuk mengamankan anak-anak pada saat mereka bermain di depan rumah. Karena pembangunannya adalah hasil dari swadaya masyarakat, desain dan bahan dari polisi tidur pun beraneka ragam, bergantung pada pandangan warga terkait kebutuhan akan kemampuan gundukan yang akan mereka bangun untuk menghentikan kendaraan. Jika dirasa tidak terlalu perlu, gundukan ini dibuat cukup landai dan pendek. Tapi, jika dirasa kebutuhan ini sangat besar, tidak jarang gundukan ini dibuat curam dengan tinggi gundukan mencapai 10 cm sehingga semua kendaraan harus berhenti saat melewati polisi tidur. 

Thursday, 16 July 2015

Pernikahan dan Masyarakat

Mirza Adrian NP
6 Juli 2015

No union is more profound than marriage, for it embodies the highest ideals of love, fidelity, devotion, sacrifice, and family. In forming a marital union, two people become something greater than once they were. As some of the petitioners in these cases demonstrate, marriage embodies a love that may endure even past death. It would misunderstand these men and women to say they disrespect the idea of marriage. Their plea is that they do respect it, respect it so deeply that they seek to find its fulfillment for themselves. Their hope is not to be condemned to live in loneliness, excluded from one of civilization's oldest institutions. They ask for equal dignity in the eyes of the law. The Constitution grants them that right. -- Justice Anthony Kennedy, Obergefell v. Hodges majority opinion

Under the Constitution, judges have power to say what the law is, not what it should be. The people who ratified the Constitution authorized courts to exercise "neither force nor will but merely judgment." ... It is striking how much of the majority’s reasoning would apply with equal force to the claim of a fundamental right to plural marriage. If “[t]here is dignity in the bond between two men or two women who seek to marry and in their autonomy to make such profound choices,” ... why would there be any less dignity in the bond between three people who, in exercising their autonomy, seek to make the profound choice to marry? If a same-sex couple has the constitutional right to marry because their children would otherwise “suffer the stigma of knowing their families are somehow lesser,” ... why wouldn't the same reasoning apply to a family of three or more persons raising children? If not having the opportunity to marry “serves to disrespect and subordinate” gay and lesbian couples, why wouldn’t the same “imposition of this disability,” ... serve to disrespect and subordinate people who find fulfillment in polyamorous relationships? -- Chief Justice John Roberts, Obergefell v. Hodges dissenting opinion

******

Pada tanggal 26 Juni 2015 lalu, Mahkamah Konstitusi Amerika Serikat dalam kasus Obergefell v. Hodges mengeluarkan sebuah keputusan historis untuk melegalkan pernikahan sesama jenis di Amerika. Keputusan ini didasarkan pada Equal Protection Clause yang tertera pada konstitusi Amerika Serikat Amandemen ke-14 bagian pertama yang berbunyi:
All persons born or naturalized in the United States, and subject to the jurisdiction thereof, are citizens of the United States and of the State wherein they reside. No State shall make or enforce any law which shall abridge the privileges or immunities of citizens of the United States; nor shall any State deprive any person of life, liberty, or property, without due process of law; nor deny to any person within its jurisdiction the equal protection of the laws.
Dalam kasus ini, keputusan untuk melegalkan pernikahan sesama jenis didasarkan pada konsep kesetaraan setiap warga negara untuk mendapatkan perlindungan hukum dari negara serta konsep ketidakmampuan negara untuk menyangkal kehidupan dan kebebasan warga negara tanpa proses hukum yang jelas. Keputusan ini menuai banyak komentar dari sisi pro dan kontra pernikahan sesama jenis di dalam dan luar Amerika. Bagi saya, keputusan ini menunjukkan bahwa, meskipun pernikahan sudah dilakukan selama berabad-abad lamanya, pernikahan tetap menjadi ritual yang sangat rumit bagi masyarakat kita sekarang.

Kerumitan ini muncul karena kita sebagai masyarakat memberikan banyak nilai kepada ritual pernikahan. Mulai dari nilai mengenai kesucian, seksualitas, stabilitas sosial masyarakat, stabilitas demografi, hingga konsep gender tercakup dalam pelaksanaan ritual ini. Bahkan bisa dibilang bahwa pelaksanaan ritual pernikahan merupakan pejawantahan nilai-nilai yang terkandung dalam hukum adat, agama, dan negara yang berlaku di dalam masyarakat. Selain itu, pada negara yang sekuler, kerumitan pernikahan juga ditambah dengan adanya pemisahan antara agama dan negara. Hal ini berakibat pada pengesahan pernikahan yang turut terpisah pada dua institusi tersebut. Dalam pemisahan tersebut, dimungkinkan terjadinya pertentangan antara hukum agama dan hukum negara seperti yang terjadi pada kasus Obergefell v. Hodges di Mahkamah Konstitusi Amerika Serikat - perlu diingat bahwa pengaruh Kristen Konservatif yang menentang pernikahan sesama jenis di Amerika juga cukup kuat.

Pemberian hak legal kepada pernikahan sesama jenis di Amerika mengingatkan kita bahwa hingga saat ini definisi dari pernikahan bukan merupakan sebuah kesimpulan yang bersifat ajek namun lebih merupakan rangkaian pertanyaan terbuka yang jawabannya bergantung pada interpretasi masyarakat yang berlaku mengenai hubungan intim antar-personal. Dimana garis batas tindakan publik dan privat? Apa batas-batas perilaku "alami"? Bagaimana seharusnya "tindakan membahayakan" atau "tindakan konsensual" didefinisikan? Apa yang harus dilakukan ketika pandangan mengenai seksualitas bertentangan dengan nilai-nilai fundamental lainnya? Dan peran apa yang harus diambil negara dalam pengaturan moralitas, penjagaan kesehatan, pendefinisian perilaku yang melenceng, serta perlindungan kepada kelompok rentan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanyalah sebagian kecil dari pertanyaan mengenai pernikahan yang sah. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebagai masyarakat kita tidak pernah sepenuhnya setuju. Selain itu, jawaban kita pun terus berubah sesuai dengan interpretasi zaman. Seringkali, pertentangan ini muncul dari banyak aspek. Dalam aspek hukum, filsafat, politik, dan kehidupan publik, masalah pernikahan telah memicu perdebatan di dalam masyarakat dari Abad 17 hingga sekarang.

Monday, 11 May 2015

Kemacetan Jakarta

Mirza Adrian NP
11/05/2014

Dari sejak saya kuliah, saya selalu tertarik dengan ilmu transportasi. Oleh sebab itu saya mengambil Transportasi sebagai subjur saya di Teknik Sipil ITB. Meskipun tema Tugas Akhir saya lebih membahas mengenai struktur perkerasan, saya tetap memiliki ketertarikan yang besar terhadap sistem transportasi. Oleh sebab itu setelah kelulusan saya pada bulan April 2013, saya bekerja di Asdep Transportasi Kemenko Perekonomian RI sebagai tenaga honorer sebelum akhirnya pindah. Pada bulan Oktober 2013, saya bekerja di sebuah perusahaan BUMD yang telah ditunjuk untuk membangun prasarana Mass Rapid Transit di Jakarta oleh Pemda DKI Jakarta. Saya cukup bangga bekerja disini karena saya merasa menjadi bagian dari sebuah pembentukan sejarah transportasi di Indonesia. Dan selain itu, saya juga merasa menjadi bagian dari solusi kemacetan Jakarta.

Banyak orang yang berharap pada MRT Jakarta. Hal ini bisa dilihat dari pertanyaan yang saya terima setiap kali saya menyebutkan pekerjaan saya: "Kalo habis ada MRT, Jakarta bakalan tetep macet ga?" Saya selalu menjawab pertanyaan ini dengan mudah: "Iya, Jakarta pasti akan tetap macet meskipun sudah ada MRT Jakarta". Saya menjawab seperti itu bukan sebagai upaya menjatuhkan MRT Jakarta namun sebagai upaya menyadarkan setiap orang di Jakarta bahwa kemacetan di Jakarta bukanlah sebuah permasalahan infrastruktur. Namun sesuatu yang jauh lebih besar dari itu.

Sejauh ini, Pemda DKI Jakarta telah berupaya banyak untuk menyelesaikan kemacetan Jakarta. Mulai dari penambahan ruas jalan, pelebaran lebar jalan, pembangunan jalan layang, mengembangkan Trans Jakarta dan kereta commuter line, hingga memberlakukan PNS wajib menggunakan kendaraan umum pada hari Jumat pertama di tiap bulan. Namun semua upaya tersebut terbukti gagal dalam menyelesaikan kemacetan Jakarta. Kota ini akan terus bertambah macet. Bahkan, selama saya tinggal di kota ini, hanya ada satu kejadian yang telah terbukti mampu menyelesaikan kemacetan Jakarta berkali-kali: IDUL FITRI. Dari sini mungkin kita bisa menyimpulkan bahwa kemacetan Jakarta hanya bisa diselesaikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Atau kita juga bisa menyimpulkan bahwa permasalahan kemacetan Jakarta bukanlah permasalahan infrastruktur atau kebijakan daerah.

Sunday, 18 January 2015

Pourquoi Charlie?

Mirza Adrian NP
14 January 2015

On Wednesday 11 January 2015, two gunmen armed with assault rifles stormed the office of Charlie Hebdo magazine in Paris. They shot dead 11 people including the editor and some cartoonists. While escaping, they also shot dead one police officer. In total, 12 people are killed in the attacks and 11 people are wounded. The gunners were taking revenge on Charlie’s frequent depiction of Prophet Mohammad (PBUH) on their magazine cover which is an act of blasphemy for the Moslems since Islam has a strong tradition of aniconism, and it is considered highly blasphemous in most Islamic traditions to make a picture of Muhammad. This, compounded with a sense that the cartoons insulted Muhammad and Islam, offended the attackers and their supporters.

As a response, the world (or at least Europe and America) stood up in vigil for the dead and condemn the attack to Charlie Hebdo as an attack on freedom of speech. In the internet, the phrase Je suis Charlie (I am Charlie) became widespread as a show of support with those who were killed at the Charlie Hebdo shooting, and by extension, a show of support to freedom of speech and resistance to armed threats. Some journalists and cartoonists embraced the expression as a rallying cry for the freedom of self-expression and attached figurative drawings of the might of pens and pencils over guns. Charlie Hebdo itself ‘retaliates’ by publishing another cover of the magazine with Mohammad holding the sign “Je Suis Charlie” and print 1 million copies showing that they are undeterred by the attacks and will continue to act upon their freedom of speech and expression, even though some people might consider their action as blasphemy.

Many things could be learned from this event to prevent other shootings in the future and history will surely analyze this event as an example of turbulence in the 21st century – along with other horrendous massacres that had happened so far. For me, the event and its aftermath brought two important questions: (1) what is the limit of freedom of speech and expression? and (2) How should freedom of speech and expression conducted in a globalized world? In this writing, I will try to answer both questions and try to reach a conclusion regarding this event and its contribution to the discussion of freedom. Readers may note that, because of my limited understanding on the subject, this writing will contains mistakes and I hope for the readers to correct my mistakes and start a discussion.