Mirza Adrian NP
No union is more profound than marriage, for it embodies the highest ideals of love, fidelity, devotion, sacrifice, and family. In forming a marital union, two people become something greater than once they were. As some of the petitioners in these cases demonstrate, marriage embodies a love that may endure even past death. It would misunderstand these men and women to say they disrespect the idea of marriage. Their plea is that they do respect it, respect it so deeply that they seek to find its fulfillment for themselves. Their hope is not to be condemned to live in loneliness, excluded from one of civilization's oldest institutions. They ask for equal dignity in the eyes of the law. The Constitution grants them that right. -- Justice Anthony Kennedy, Obergefell v. Hodges majority opinion
Under the Constitution, judges have power to say what the law is, not what it should be. The people who ratified the Constitution authorized courts to exercise "neither force nor will but merely judgment." ... It is striking how much of the majority’s reasoning would apply with equal force to the claim of a fundamental right to plural marriage. If “[t]here is dignity in the bond between two men or two women who seek to marry and in their autonomy to make such profound choices,” ... why would there be any less dignity in the bond between three people who, in exercising their autonomy, seek to make the profound choice to marry? If a same-sex couple has the constitutional right to marry because their children would otherwise “suffer the stigma of knowing their families are somehow lesser,” ... why wouldn't the same reasoning apply to a family of three or more persons raising children? If not having the opportunity to marry “serves to disrespect and subordinate” gay and lesbian couples, why wouldn’t the same “imposition of this disability,” ... serve to disrespect and subordinate people who find fulfillment in polyamorous relationships? -- Chief Justice John Roberts, Obergefell v. Hodges dissenting opinion
******
Pada tanggal 26 Juni 2015 lalu, Mahkamah Konstitusi Amerika Serikat dalam kasus
Obergefell v. Hodges mengeluarkan sebuah keputusan historis untuk melegalkan pernikahan sesama jenis di Amerika. Keputusan ini didasarkan pada
Equal Protection Clause yang tertera pada konstitusi Amerika Serikat Amandemen ke-14 bagian pertama yang berbunyi:
All persons born or naturalized in the United States, and subject to the jurisdiction thereof, are citizens of the United States and of the State wherein they reside. No State shall make or enforce any law which shall abridge the privileges or immunities of citizens of the United States; nor shall any State deprive any person of life, liberty, or property, without due process of law; nor deny to any person within its jurisdiction the equal protection of the laws.
Dalam kasus ini, keputusan untuk melegalkan pernikahan sesama jenis didasarkan pada konsep kesetaraan setiap warga negara untuk mendapatkan perlindungan hukum dari negara serta konsep ketidakmampuan negara untuk menyangkal kehidupan dan kebebasan warga negara tanpa proses hukum yang jelas. Keputusan ini menuai banyak komentar dari sisi pro dan kontra pernikahan sesama jenis di dalam dan luar Amerika. Bagi saya, keputusan ini menunjukkan bahwa, meskipun pernikahan sudah dilakukan selama berabad-abad lamanya, pernikahan tetap menjadi ritual yang sangat rumit bagi masyarakat kita sekarang.
Kerumitan ini muncul karena kita sebagai masyarakat memberikan banyak nilai kepada ritual pernikahan. Mulai dari nilai mengenai kesucian, seksualitas, stabilitas sosial masyarakat, stabilitas demografi, hingga konsep gender tercakup dalam pelaksanaan ritual ini. Bahkan bisa dibilang bahwa pelaksanaan ritual pernikahan merupakan pejawantahan nilai-nilai yang terkandung dalam hukum adat, agama, dan negara yang berlaku di dalam masyarakat. Selain itu, pada negara yang sekuler, kerumitan pernikahan juga ditambah dengan adanya pemisahan antara agama dan negara. Hal ini berakibat pada pengesahan pernikahan yang turut terpisah pada dua institusi tersebut. Dalam pemisahan tersebut, dimungkinkan terjadinya pertentangan antara hukum agama dan hukum negara seperti yang terjadi pada kasus
Obergefell v. Hodges di Mahkamah Konstitusi Amerika Serikat - perlu diingat bahwa pengaruh
Kristen Konservatif yang menentang pernikahan sesama jenis di Amerika juga cukup kuat.
Pemberian hak legal kepada pernikahan sesama jenis di Amerika mengingatkan kita bahwa hingga saat ini definisi dari pernikahan bukan merupakan sebuah kesimpulan yang bersifat ajek namun lebih merupakan rangkaian pertanyaan terbuka yang jawabannya bergantung pada interpretasi masyarakat yang berlaku mengenai hubungan intim antar-personal. Dimana garis batas tindakan publik dan privat? Apa batas-batas perilaku "alami"? Bagaimana seharusnya "tindakan membahayakan" atau "tindakan konsensual" didefinisikan? Apa yang harus dilakukan ketika pandangan mengenai seksualitas bertentangan dengan nilai-nilai fundamental lainnya? Dan peran apa yang harus diambil negara dalam pengaturan moralitas, penjagaan kesehatan, pendefinisian perilaku yang melenceng, serta perlindungan kepada kelompok rentan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanyalah sebagian kecil dari pertanyaan mengenai pernikahan yang sah. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebagai masyarakat kita tidak pernah sepenuhnya setuju. Selain itu, jawaban kita pun terus berubah sesuai dengan interpretasi zaman. Seringkali, pertentangan ini muncul dari banyak aspek. Dalam aspek hukum, filsafat, politik, dan kehidupan publik, masalah pernikahan telah memicu perdebatan di dalam masyarakat dari Abad 17 hingga sekarang.